Wednesday, September 7, 2016

CARA MENGATASI SIKAP PAMER


Syirik atau menyekutukan Allah adalah predikat yang tidak main-main. Ia dianggap berat karena ada penyembahan, keyakinan, atau sekadar harapan kepada selain Allah. Jenis syirik tidak tunggal. Syirik memiliki tingkatan, tergantung kadar “penghambaan” seseorang terhadap hal-hal di luar Allah.
Ada sitilah “syirik kecil” dan ini sering tidak dipahami atau diperhatikan oleh kebanyakan manusia. Padahal, syirik kecil inilah yang paling dikhawatirkan Rasulullah menimpa umatnya. Apa itu syirik kecil?
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ . قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar (syirik terkecil).” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik terkecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu riya’ (pamer).” (HR ahmad)

Sikap Rasulullah yang menempatkan riya’ sebagai paling ditakuti mengindikasikan betapa gawat perbuatan tercela tersebut. Gawat pertama karena muncul harapan selain Allah, dan gawat kedua karena dosa ini nyaris tak terasa lantaran “kelezatan” yang diterima pelakunya, seperti berupa pujian, sanjungan, hingga kenaikan kedudukan dari orang-orang di sekitarnya.
Inilah merupakan bentuk dari berwujudan tauhid sejati. Artinya, syirik tak mesti dialamatkan kepada para penyembah pohon atau batu, tapi juga pada orang-orang yang bergantung pada pujian dan pandangan orang lain. Allah tak lagi menjadi ukuran utama terhadap segenap nilai perbuatan baik. Karena itu, betapa banyak orang memperlihatkan, memotret, atau memperdengarkan kedermawanan, kesalehan, prestasi, bukan agar orang lain meneladani melainkan sekadar mengetahui, syukur-syukur melontarkan puji-pujian. Fenomena ini kita temui dengan sangat mudah di era media sosial ini.
Riya’ merupakan penyakit hati. Ia virus yang tergolong sukar diobati dan menggerogoti habis nilai pahala di mata Allah subhanahu wata‘ala. Riya’ bisa berlangsung dalam tiga waktu: sebelum, saat, dan setelah perbuatan baik dilakukan. Lantas bagaimana cara mengatasinya?

Pertama, orang yang terbesit riya sebelum mengerjakan amalan dan memang berniat mengerjakannya semata karena riya’, maka agar selamat orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas. Untuk menimbulkan rasa ikhlas, seseorang perlu merenung bahwa kritikan dari orang lain lebih sering meningkatkan kualitas diri ketimbang sanjungan yang memacu perasaan ujub lalu menjatuhkan.
Kedua, bila riya’ muncul di saat melakukan amalan, seseorang dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insyaallah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula. Keterangan ini bisa kita temukan dalam kitab Maqashidur Ri‘ayah li Huquqillah karya Izzuddin bin Abdus Salam.
Ketiga, niatan awal bisa saja karena Allah, saat melakukannya pun tak ada kendala dalam hati. Tapi, hawa nafsu yang pantang menyerah bisa menjerumuskan ahli amal dengan berbuat riya’ setelah kebaikan dan kesalehan itu dilakukan. Orang yang dihadang godaan seperti ini perlu serius membentengi diri dan selalu berpikir bahwa kebaikan tak datang dari dirinya tanpa pertolongan dan karunia Allah. Di saat yang sama, penting juga menginsafi bahwa keburukan masih lebih banyak bersemanyam dalam diri daripada kebaikan.

Penjelasan ini memberi pesan kepada kita semua bahwa siapa pun bisa dihinggapi rasa syirik, bahkan orang yang kerap memvonis syirik orang lain pun. Manusia dituntut untuk selalu berhati-hati, mengutamakan instropeksi daripada menghakimi. Riya’ termasuk syirik yang samar (khafi), tidak terasa, dan justru karena kesamarannya inilah membuatnya lebih berbahaya dan paling dikhawatrikan oleh Nabi.
Orang yang rajin beribadah sekalipun belum tentu bersih dari sifat tercela ini. Karena penyakit riya’ bisa menjangkiti kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja. Riya juga bisa muncul ketika seseorang memanjangkan ruku’ atau sujud di dalam shalat, saat berpakaian yang mengesankan kealiman, menghitam-hitamkan bekas sujud di dahi, atau memfasih-fasihkan lidah saat berceramah dengan mengumbar hafalan dan keluasan ilmu. Adapula yang bersikap sedemikian rupa agar dikatakan orang lain mengaggap dirinya tak suka pamer, ini pun tergolong riya'. Artinya, riya' juga dapat menyelinap di balik sifat-sifat terpuji dan amal ibadah.
Namun demikian, semuanya bisa dicegah dan disembuhkan. Jangan karena takut riya’ amal ibadah tidak terjalani. Segalanya tergantung pada kesungguhan berjihad dengan diri sendiri dan kelurusan niat hati kita. Menghindari riya’ sesungguhnya adalah upaya memurnikan peruntukkan seluruh amal kebaikan bagi Allah semata.
Wallahu'alam bisshowab[].

Bagikan

Jangan lewatkan

CARA MENGATASI SIKAP PAMER
4/ 5
Oleh BEDENAI INFO

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Comments
0 Comments