Thursday, June 10, 2021

Ustad Mil: Ulama Melayu Bengkalis yang Progresif

Sumber Gambar : facebook.com/amrizal.isa

Oleh : Masdaruddin Don Ahmad

Allah mengasihimu, Guruku.

Setiap kali mendiskusikan Islam dan pernak-perniknya, ingatan terhadap sosok sederhana yang hanya bersepeda motor ini begitu kuat dan membahagiakan. Semoga kami senantiasa bersama, kini dan nanti, dalam kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan.

Almarhum Ustad Mil adalah salah satu dari manusia mulia yang dikirim Tuhan untuk saya. Kami selalu bersama dalam hubungan guru-murid. Pertemuan dengan ulama yang tidak pernah memanjangkan jenggot ini bermula ketika saya mengajar di YPPI Bengkalis. Ketika itu, beliau menjabat kepala sekolah.

Kemudian kami semakin akrab ketika ulama jebolan pesantren di Kelantan Malaysia ini, menjadi dosen saya, di STAIN Bengkalis (ketika itu STIT). Keilmuannya yang mengagumkan membuat saya jatuh cinta kepada mata kuliahnya, Ushul Fiqh dan Mantiq. Dengan tekun beliau membimbing saya memahami kitab Ushul Fiqh Abu Zahra, Hujjatullahul Balighah Syaikh Dahlawi, Kitab Sullamul Munauraq Syekh Abdurrahman al-Akhdari, Tahafut al-Tahafut Ibnu Rusyd, dll.

Setelah tamat, saya masih tetap mengajar dan ahli Islam yang tidak pernah bercelana cingkrang ini, juga masih kepala sekolah. Hampir setiap waktu luang, beliau menyempatkan duduk bersama mendiskusikan persoalan kontemporer tentang Islam, ilmu pengetahuan dan masyarakat. Diskusi itu semakin intensif ketika sang hafiz Al-Quran ini, tidak lagi menjadi anggota DPRD.

Sebenarnya bukan diskusi, melainkan mengajari. Tetapi kearifan dan sikap moderatnya, menempatkan guru dengan murid setara. Maka istilah yang tetap harus diucapkan di hadapan sang ulama yang juga guru saya ini adalah diskusi.

Sang penggila ilmu ini sangat suka makan pecal. “Sebagai wujud kecintaan saya kepada keberagaman,” katanya setiap kali berhadapan dengan pecal.

Beliaulah yang menuntun saya dengan tekun dalam pengembaraan pengetahuan di lautan ilmu yang maha dahsyat. Sungguh, saya tidak mampu untuk menggenggam air pengetahuan yang dihidangkan. Hanya setetes dua tetes saja yang terteguk. Namun kesyukuranku tidak terhingga kepada yang sangat sedikit itu.

Bagiku, beliau adalah samudera pengetahuan dan kebijaksanaan. Di antara yang sangat mengesankan sampai kini dan nanti adalah sikap dan cara beliau sewaktu menanggapi fatwa Syiah sesat.

Sebagai ketua MUI ketika itu, beliau tidak setuju dengan fatwa MUI pusat tentang kesesatan Syiah. Caranya membantah dalam diam, dibawanya beberapa kitab karangan ulama Syiah yang dimiliki ke sekolah. Lalu memanggil saya untuk duduk dan membacanya. Ketika saya mulai membuka-buka kitab tersebut, beliaupun berbicara, “Semua kita berusaha mencari kebenaran hakiki, tetapi kebenaran hakiki itu hanya ada pada Allah. Kita meyakini yang kita imani adalah benar, orang-orang Syiah juga begitu.”

Kemudian beliau melanjutkan: “Contohlah ulama-ulama dulu yang seluruh hidupnya hanya untuk ilmu dan agama, sampai lupa menikah, seperti Imam Nawawi, setiap selesai menulis satu bab dia katakan Allahu A’lam, karena pengetahuan yang dimiliki menyadarkan, bahwa yang bisa menilai yang benar hanyalah yang benar-benar memilki kebenaran itu.”

Kata-kata itu tertanam dan menghunjam di relung hati terdalam. Sebagai bentuk penghormatan kepada guru yang dikagumi dan dicintai, sampai kapanpun akan saya ingat pesan itu dan doa saya: Tuhan bersamanya dan mengasihinya di surga yang tinggi dan penuh kenikmatan.

Putra Melayu kelahiran Sungai Pakning ini sulit ditandingi kecintaannya kepada ilmu, agama, dan masyarakat, pada zamannya, sampai sekarang. Begitu juga keikhlasannya mengabdi kepada agama sangat luar biasa, sehingga mengalahkan keinginan manusiawinya yang lain.

Sependek yang saya ketahui, beliau adalah ulama yang keilmuannya paling mumpuni. Karena referensi bacaannya sangat beragam, maka pandangan keagamaannya sangat luas: tidak pernah menghakimi yang berbeda dengan mengatakan haram, dan yang sejenisnya. Terutama kata bid’ah, zaman itu belum pernah kata itu kami dengar keluar dari ucapan para ulama.

Keluasan pengetahuannya tersohor bukan hanya di Bengkalis, melainkan di Riau. Karena beberapa kali saat saya bersama mengikuti kegiatan di MUI provinsi, pendapat beliaulah yang dinantikan oleh majlis. Dan setelah beliau berpendapat, majlis pun bersepakat untuk menjadikan pendapat beliau sebagai pendapat majlis. Tetapi saya tidak akan mengulas tentang ini.

Saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang oleh sebagian muslim Melayu hari ini mungkin dianggap aneh. Katakanlah fatwa beliau tentang tidak dibenarkan tadarus Al-Quran di bulan Ramadhan dengan pengeras suara luar dengan alasan mengganggu nonmuslim yang sedang beristirahat, yang oleh beberapa kalangan ditanggapi setengah protes. Padahal bagi ahli Al-Quran hal seperti itu sudah semestinya. Karena banyak hal yang oleh beliau telah didiskusikan bersama kami tentang persoalan itu, tetapi tidak dimasukkan ke dalam lembaran fatwa, dan saya tidak akan mengatakannya di sini.

Lebih dari fatwa di atas, sebagai seorang ulama yang multitalenta, sikap, dan pandangan keislamannya yang sangat progresif telah memberi warna yang asik bagi kami ketika itu: majlis guru di YPPI. Misalnya, beliau memakai cincin emas. Pernah sambil berseloroh, salah seorang guru bertanya persoalan hukum tentang lelaki memakai emas. Dengan santai beliau menjawab, jika berpegang kepada pendapat salah satu mazhab dalam Syiah, lelaki memakai emas bukan hanya haram, malahan membatalkan wudu. Tetapi karena beliau tetap memakainya, maka majlis guru laki-laki di YPPI waktu itu dengan senang hati meneladani beliau, seperti Pak Fakhrurrazi, Pak Asmiral, Pak Sidik, dan saya sendiri.

Melihat kami memakai cincin emas tersebut, beliau sambil tersenyum bergumam, “Orang awam sebaiknya taklid saja kepada ulama, tidak perlu menyibukkan diri dengan dalil.”

Begitu juga soal fashion, beliau tidak pernah menampakkan ciri khusus yang baru-baru ini dianggap paling Islam. Dan setahu saya, semua ulama di Bengkalis yang seangkatan dengan beliau juga begitu. Sampai sekarangpun, yang benar-benar ulama masih sama tidak menyibukkan diri dengan fashion yang “katanya” sebagai identitas islam. Fashion yang saya maksudkan adalah jenggot. Ya, setahu saya, sampai sekarang, tidak ada ulama di Bengkalis yang berjenggot.

Tentang jenggot ini pernah menjadi bahan perbualan di ruang majlis guru YPPI waktu itu. Kalau tidak salah bersumber dari Pak Khairuddin Nur. Tetapi saya tidak akan mengatakan di sini, karena suasana keislaman hari ini kurang kondusif untuk mengatakannya.

Satu-satunya -kalau boleh dibilang- membuat beliau pernah berbeda dengan majlis guru yang lain adalah ketika memakai kain sarung. Yaitu ketika beliau bertugas sebagai khatib Jumat, maka pada jam mengajar sore, sarung itulah yang tetap dipakai lengkap dengan syalnya yang berwarna putih atau hijau. Dan ketika memakai sarung, maka kaki beliau memakai sandal.

Kembali ke keluasan referensi keislaman yang dikuasai, mungkin yang paling sering beliau sebut adalah kitab Hujjatullahul Balighah karangan Syaikh Dahlawi dari India. Tentang isi dalam kitab ini, beliau pernah berujar kepada saya, “Menurut Syaikh Dahlawi, orang Yahudi itu dihujat dalam Al-Quran bukan karena mereka Yahudi, melainkan karena sifat-sifat mereka yang banyak merugikan orang lain dan tidak terpuji.” Kemudian dengan senyum beliau melanjutkan ucapannya, “Sekarang ini, sudah terbalik, sifat-sifat orang Yahudi yang dihujat oleh Allah dalam Al-Quran itu ada pada orang Islam, sementara kita masih juga sibuk menghujat Yahudi.”

Ketika usianya sudah lanjut, dan sudah mengharuskan beristirahat, tetapi beliau tetap bersemangat mengembangkan ilmu dengan mendirikan dan mengajar di Pondok Tahfizul Quran yang zaman bupati Herlian Saleh terpaksa ditutup.

Saya teringat ketika sedang duduk bersama beliau dan bapak Adnan, guru YPPI juga, di perpustakaan sekolah. Di antara tumpukan kitab-kitab, beliau perlahan berucap sebatas dapat kami dengar: “Saya ingin meninggalkan jejak yang bermanfaat untuk masyarakat luas di Bengkalis, bagaimana kalau didirikan pesantren Tahfizul Quran?”

Saya dan Pak Adnan ketika itu langsung saja mempersiapkan segala sesuatunya agar cita-citanya menjadi kenyataan. Alhamdulillah, tidak perlu waktu lama, ketua Yayasan, Pak Barmawi, KN. menyetujui lokasi pondok di tanah Yayasan, wakaf dari almarhum H. Mansur di Wonosari Timur. Kemudian, Pemerintah Daerah, bupati Syamsurizal juga mendukung segala pembiayaan: bangunan fisik, dana operasional, dan beasiswa santri yang ikut menghafal Al-Quran. Dan, di pondok Tahfizul Quran inilah beliau mengabdikan diri sampai ajal menjemput.

Sangat disayangkan, pergantian bupati menyebabkan kebijakan juga berganti. Dana operasional dan beasiswa untuk santri yang mengikuti tahfiz tidak lagi dianggarkan Pemda Bengkalis. Akibatnya kegiatan pondok tidak berjalan. Santri yang ada semuanya bubar. Bangunan asrama, ruang kelas dan rumah ustad terbiarkan tidak terawat.

Semoga seiring waktu, Tuhan memberikan jalan keluar untuk menghidupkan kembali pondok Tahfiz peninggalan ulama besar negeri  Bengkalis. Dan berarti pula mewarisi, melestarikan dan mengembangkan semangat mencintai keberagaman dan sikap moderat yang menjadi model keagamaan H. Ustad Mil. Semoga.


Monday, July 13, 2020

Merasa Benar Tanpa Dasar


Malam ini tiba - tiba saya teringat buku menarik dari Tom Nichols yang berjudul “The Death of Expertise”, buku ini menceritakan bahwa semakin hari, dengan maraknya media sosial dan tren ‘buzzer’, seseorang yang bukan pakar justru terlihat lebih sering mengaku dan berbicara banyak di luar keahlian dan bidang yang ia geluti. Lucunya, tidak jarang ada publik yang malah dengan mudahnya percaya dan menganggap hal tersebut benar adanya. Runtuhnya otoritas pengetahuan pada era post-truth seperti sekarang disebabkan oleh beberapa hal: selain masih rendahnya tingkat literasi masyarakat kita; di zaman internet, orang cenderung terjangkit efek Dunning-Kruger, yaitu gejala psikologis individu yang baru belajar dan memiliki sedikit pengetahuan di bidang tertentu, namun kemudian merasa sudah ahli dan dan bias konfirmasi pada segala hal. Akibat negatifnya? Ia merasa benar oleh pengetahuan yang sedikit dan condong menyampaikan hal yang keliru.  

Beberapa Otoritas keilmuan lembaga negera yang runtuh mengakibatkan publik pun menjadi semakin skeptis padanya. Selain beberapa pernyataan blunder tanpa dasar, hal itu memperlihatkan bahwa sekelas orang berpendidikan di lembaga resmi kita selama ini abai terhadap riset ilmiah dan hanya melihat problematika masyarakat dari permukaan, tanpa mau bersusah payah menganalisis secara mendalam apa akar masalah sebenarnya. Kalau melihat kejadian yang marak akhir-akhir ini, alih-alih menyuarakan aspirasi rakyat, ada beberapa oknum tokoh yang justru mendorong runtuhnya otoritas keilmuan di ranah publik. Padahal dengan arus informasi yang semakin deras, masyarakat berhak mendapatkan pencerahan dari perwakilan lembaga negara, bukan malah kemudian dijerumuskan kepada pengetahuan yang tidak bersumber dan tidak jelas asal muasalnya. 

Ditambah lagi, tipologi sebagian masyarakat kita hingga saat ini masih mengacu pada teori klasik Muhammad Hatta dalam hal memperoleh ilmu, yakni: cerita orangtua, pengalaman sendiri, serta keterangan orang lain. Dan yang terakhir, justru beberapa di antaranya datang dari tokoh-tokoh yang kita anggap hebat justru memproduksi pengetahuan menyesatkan nan keliru. Jika semakin banyak tokoh yang membuat pernyataan tanpa dasar ilmiah yang kuat, saya khawatir demokrasi dan derasnya informasi tidak membantu kita menjadi masyarakat yang cerdas, tapi malah akan menjerumuskan kita ke dalam lembah salah sangka dan kebodohan tak terhingga. 

Belajar dari sejarah dan teori realistic conflict, prasangka dan kedunguan publik yang dibiarkan adalah bibit subur dari konflik sosial dan penindasan. Awalnya masyarakat memang hanya memunculkan prasangka. Namun, seiring dengan kecurigaan yang diamini oleh banyak pihak, hal tersebut akan mendorong diskriminasi, dan diskriminasi dapat melahirkan penindasan, terutama kepada golongan minoritas dan yang termarjinalkan. 
Dari uraian di atas, sudahkah kita merasakannya saat ini?. Atau sudah menjadi korban informasi yang keliru?, 
Akhirnya saya rindu dengan film Kingsman season II "The Golden Circle" sebab saya suka dengan soundtracknya "Country road take me home".

Tuesday, December 10, 2019

Industri Agama


Belum lama ini, Menko Polhukam Mahfud MD menengarai adanya industri hukum di negeri ini, yakni kiprah jaksa, polisi, pengacara, dan hakim yang mengatur pasal-pasal hukum untuk meringankan atau memberatkan tersangka. Sebenarnya kita juga punya bidang lain serupa yang dapat dikategorikan sebagai industri, yakni industri atau bisnis agama.

Industri umumnya diartikan sebagai kegiatan memproses bahan mentah menjadi barang jadi untuk dijual. Belakangan industri diartikan lebih luas sebagai kegiatan bisnis apa saja yang sejenis, seperti industri film, industri musik, dan lain sebagainya. Industri agama mencakup bidang yang cukup luas.

Menerbitkan buku agama, menjual busana bermotif agama, mendirikan sekolah komersial swasta bersyariah, mencetak kitab suci, bisnis umrah dan haji, memproduksi dan menjual produk halal, bank syariah, dan banyak lagi. Semua itu adalah bagian dari industri atau bisnis untuk memenuhi permintaan pasar konsumen beragama, khususnya muslim.

Di luar itu, masih ada bidang kegiatan keagamaan lain yang seyogianya bukan bidang usaha mencari keuntungan materi, tetapi telah bermetamorfosa menjadi bisnis terselubung. Bidang ini, khususnya dalam Islam, yang akan dibahas dalam ulasan di bawah ini.

Dunia Ustaz dan Dakwah

Saya kira bukan hanya saya, tapi banyak dari kita yang merasakan bahwa selama 15 tahun atau lebih terakhir ini, gairah beragama muslim Indonesia meningkat dengan pesat. Banyak sekali ustaz, kiai, habib, dan dai baru yang bermunculan. Bersamaan dengan itu, lulusan sekolah-sekolah dan pesantren dalam dan luar negeri memasuki pasar kerja dan yang dari luar negeri kembali pulang ke Indonesia.

Hampir setiap hari kita dengar nama ustaz baru di media sosial, YouTube, dan lainnya. Mereka ada yang benar berilmu seperti kebanyakan lulusan UIN atau pesantren yang mumpuni, tetapi lebih banyak yang nekat muncul di publik sebagai ahli agama meski ilmunya sangat terbatas.

Ini adalah perkembangan baru. Saya ingat, jauh sebelum ini, lulusan IAIN (sekarang UIN) dahulu sempat kesulitan mencari kerja setelah lulus sarjana. Berdasarkan sebuah penelitian, sarjana lulusan IAIN saat itu banyak yang kemudian menggeluti profesi wartawan.

Keberhasilan pembangunan ekonomi yang meningkatkan jumlah kelas menengah di negeri ini, plus gejala apa yang dinamakan hijrah oleh artis-artis dan ibu-ibu muda, menjadikan permintaan "pasar" atas ustaz meningkat drastis. Apa yang terjadi kemudian adalah ustaz-ustaz tertentu mendadak populer dan menjadi selebritas, antara lain berkat dukungan televisi dan medsos.

Sebagian ustaz-ustaz ini menjadi makmur dan kaya. Bahkan ada yang menetapkan tarif untuk tampil. Sekali diundang, ada yang bertarif puluhan juta rupiah plus segala fasilitas lain. 

Belum lagi hasil sebagian iklan yang dibayarkan oleh aplikasi di internet bila yang diunggah menjadi viral. Mereka pun membuka alamat komunikasi layaknya sebuah kantor bisnis lengkap dengan sekretaris dan pembantu yang mengurus jadwal, logistik, serta perencanaan dan desain penampilan.

Harus dikatakan di sini, masih banyak dai dan ustaz yang tulus dan tidak bermotifkan keduniaan. Namun, gejala munculnya ustaz-ustaz sukses dan seleb dengan puluhan ribu fans dan pengikut setia dilihat oleh banyak pemuda dan ustaz yang merasa berpotensi sebagai profesi yang menggiurkan.

Mereka bergegas menyiapkan semua aksesori yang diperlukan, seperti peci, sarung, gamis, baju koko, atau serban dan sejenisnya agar berpenampilan sesuai harapan penggemar. Sebagian bahkan menciptakan mode-mode gamis, tutup kepala, dan baju koko baru yang berwarna-warni agar lebih menarik dan mudah dikenal.

Sebagian ustaz-ustaz baru ini bermaksud mengambil jalan pintas kepopuleran dengan menirukan bahasa dan gaya bicara ustaz yang sudah berjubel pengikutnya dengan suara parau dan marah-marah. Sebagian sangat kecil dari mereka berhasil, namun sebagian besar gagal tetapi cukup membuat kegaduhan di publik dan dunia medsos. Sebagian lain bahkan berakhir di penjara.

Islam tentu saja, sesuai hadis Nabi SAW, tidak melarang seseorang mengambil upah, umpamanya, dengan mengajarkan Alquran, menjadi penceramah, atau lainnya karena dai pun harus punya nafkah untuk hidup. Tetapi ketika dakwah yang seharusnya mendahulukan tujuan ke-ilahi-an berubah total menjadi lebih pada kepentingan bisnis, maka tak terhindarkan kemungkinan menyerempet dosa dan maksiat.

Lebih berbahaya lagi bila kegiatan dakwah bercampur dengan tujuan-tujuan meraih kekuasaan dan politik praktis seperti yang telah kita saksikan akhir-akhir ini dan yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Agama kemudian menjadi alat pembenaran bagi perebutan kekuasaan dan ujungnya membelah umat beragama menjadi kelompok-kelompok yang berseteru berdasarkan kepentingan politik masing-masing.

Ketika para ustaz masuk ke wilayah perebutan kekuasaan, maka di satu sisi dia akan menunggangi atau sebaliknya ditunggangi oleh kelompok politik yang dianggap sejalan dengan aspirasinya atau yang diperhitungkan akan memenangkan kontestasi politik.

Di sisi lain, para ustaz ini kemudian akan "menggunakan" ayat-ayat suci tertentu sebagai pembenaran dan menafsirkannya sesuai kebutuhan tanpa mempelajari konteks ketika ayat diturunkan kepada Rasulullah SAW.

Hal lain yang sangat memprihatinkan adalah yang berikut. Ketika dunia berubah dengan cepat dan negeri lain berlomba memproduksi ribuan lulusan dan ahli dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan yang bertujuan memajukan kehidupan warganya, kita berlomba memproduksi ustaz yang perhatiannya terbatas pada soal halal dan haram, kafir dan beriman, serta menawarkan surga dan mengancam masuk neraka pada kehidupan di akhirat nanti.

Diskusi dan narasi publik dan internet di negeri ini lebih banyak dipenuhi oleh perdebatan agama, toleransi, ekstremisme, kebinekaan, dan sejenisnya, daripada wacana tentang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan perubahan iklim, umpamanya. Setiap kali kita membuka pesan-pesan yang masuk, sebagian besar berkutat ke sekitar persoalan agama yang tidak pernah selesai.

Meski berbagai pihak merasa pemerintah masuk terlalu dalam dalam urusan agama ketika membuat peraturan yang mengharuskan majelis taklim terdaftar dan memperoleh izin, kita bisa memahami bahwa pemerintah tidak bisa lepas tangan sepenuhnya dalam urusan industri agama yang berkembang pesat di negeri ini.

Ketika dia sudah berkembang menjadi sejenis industri, pemerintah punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa kepentingan warganya terlindungi. Jangan sampai masyarakat dirugikan seperti dalam beberapa kasus penggelapan oleh biro perjalanan haji dan umrah, investasi syariah, dan lain-lain.

Kepentingan pembangunan bangsa jangka panjang juga harus menjadi perhatian negara sehingga keunggulan demografi kita pada beberapa dekade mendatang tidak menjadi mubazir dan diisi hanya oleh berpuluh ribu ustaz baru yang tidak produktif atau bahkan membahayakan kelangsungan hidup bernegara dengan ajaran-ajarannya.

Oleh : Abdillah Toha

Wednesday, October 16, 2019

Engkau Bagian Dariku, dan Aku Bagian Darimu


Salah satu akhlak Rasulullah SAW adalah membuat siapapun merasa nyaman berbicara dan bergaul dengan beliau. Orang Arab Badui yang jauh-jauh datang menemui beliau gemetaran saat berhadapan dengan Nabi. Untuk menenangkannya Nabi mengatakan, seperti direkam dalam Kitab Sunan Ibn Majah (hadis nomor 3303): “aku bukan raja. Aku putra seorang perempuan yang juga senang makan daging dendeng (yang dikeringkan di bawah sinar matahari).” Lihatlah bukan saja Nabi mengatakan bahwa beliau tidak perlu dihormati sebagaimana raja, tapi beliau juga mencari titik kesamaan antara tradisi Badui dengan apa yang dilakukannya. Dengan cara demikian, Badui itu merasa nyaman.

Pesona Sang Nabi memang luar biasa. Salah satu akhlak yang beliau contohkan adalah membuat semua orang merasa akrab. Ini menyebabkan kita kesulitan menentukan siapa sebenarnya sahabat beliau yang paling dekat. Terhadap Sayyidina Abu Bakar ra beliau bersabda: “seandainya aku diperkenankan mengambil kekasih, tentu aku pilih Abu Bakar” (hadis nomor 447). Di lain kesempatan Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 3430) menceritakan tatkala Rasul memutuskan pergi dalam perang Tabuk dan meminta Ali bin Abi Thalib ra tinggal di Madinah menjaga anak-anak dan perempuan yang tidak berperang, Sayyidina Ali tetap ingin pergi berperang, lantas Rasul menenangkannya: “Tidak inginkah kamu hai Ali memperoleh posisi di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa?” Rasul merujuk pada peristiwa Nabi Musa pergi menerima perintah Allah dan memercayakan urusan umat kepada Nabi Harun.

Tentang Sayyidina Umar bin Khattab ra, amat banyak riwayat yang menyebutkan keutamaanya. Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 80) menceritakan mimpi Rasul: “Ketika tidur, aku bermimpi meminum (segelas) susu hingga aku dapat melihat aliran air dari kukuku, kemudian aku berikan (sisanya kepada) ‘Umar”. Orang-orang bertanya; “Apa maknanya (susu tersebut)? Rasulullah menjawab: “Ilmu”.

Pernah terjadi rebutan hak asuh anak Sayyidina Hamzah yang gugur di perang Uhud. Ali mengambilnya dengan alasan, “dia anak perempuan pamanku”. Ja’far mengatakan, “Istriku itu bibinya anak perempuan ini.” Zaid tidak mau kalah dan mengatakan, “Dia anak perempuan saudaraku”. Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 3920) menceritakan bagaimana Rasul kemudian menengahi dengan membuat semua pihak merasa nyaman:

“Bibi adalah pegganti ibu” maka Rasul memberikannya kepada Bibi anak itu. Lantas Rasul berkata kepada Ali, “Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu.” Rasul berkata kepada Ja’far: “Akhlakku menyerupai akhlakmu”. Dan kepada Zaid, Rasul berkata: “Engkau saudara dan maula kami”. Semua menjadi senang dengan keputusan Nabi.

Mari yuk kita terus jaga akhlak kita agar kelak Nabi Muhammad berbisik mesra kepada kita: “Engkau bagian dari umatku, akhlakmu menyerupai akhlakku dan engkaulah saudaraku”. 
Shallu ‘alan Nabi [].

(Artikel diambil dari buku best seller
Karya Nadirsyah Hosen, "Saring Sebelum Sharing"
Penerbit Bentang Pustaka, 2019)

Wednesday, October 2, 2019

Esensi Agama Bermuara pada Akhlak

Sumber Gambar : tribunnews.com

Ajaran Islam, kalau disederhanakan meliputi tiga perkara, yaitu Aqidah, Ibadah dan Muamalat. Aqidah berkaitan dengan masalah keimanan atau keyakinan terhadap perkara-perkara sebagaimana terumuskan dalam rukun iman. Ibadah berkaitan dengan serangkaian tuntutan atau kewajiban yang harus dilaksanakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepadaNya dalam rangka mencari ridhoNya sebagai terformulasi dalam Rukun Islam. Sedangkan Muamalat berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

Ketentuan hukum yang berkaitan dengan ketiga dimensi ajaran Islam ini harus dilaksanakan secara baik dan berimbang oleh setiap muslim sehingga keislamannya baru akan dianggap sempurna. Ketimpangan dalam salah satu aspek saja akan membuat keislaman seseorang itu menjadi berkurang nilainya. Seorang muslim dalam hidup ini diharuskan memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan mantap. Setelah itu ia dituntut untuk melaksanakan serangkaian ibadah yang sudah ditetapkan. Selanjutnya ia diharapkan untuk memiliki hubungan muamalat yang baik.
Kalau dikaji lebih lanjut secara mendalam, maka kita akan menemukan bahwa esensi dari agama sebenarnya bermuara kepada akhlak yang baik dan terpuji baik dalam hubungannya dengan Allah swt, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan.

kesimpulan ini didapat setelah membaca sejumlah hadits dan ayat al-quran, di antaranya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya” (HR At-Tirmidzi) “Tidak beriman salah seorang kamu apabila tetangganya merasa tidak aman dari ganguannya (HR Bukhari) Dua hadits ini secara gamblang menyatakan bahwa indikator orang yang sempurna keimanannya adalah yang paling bagus akhlak atau budi pekertinya.
Dalam kaitannya dengan Sholat, al-Quran menyatakan: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45) Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata beliau, “Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” Al Hasan berkata:”Siapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.” Tentang puasa, Nabi Muhammad saw bersabda:“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari ). Tentang Haji: “Siapa yang haji dan tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, dia akan kembali seperti dilahirkan ibunya (H.R. Muslim)

Sehubungan dengan itu; seorang Muslim sedapat mungkin dalam hidup ini berupaya untuk berakhlak baik atau menjaga diri dari sikap dan prilaku yang kurang terpuji. Seorang muslim harus menjaga ucapan dan perkataan; baik di dunia nyata maupun di dunia maya; jangan suka mencela, menceritakan aib dan keburukan orang, menebarkan berita bohong [hoaks] dan fitnah, Jikalau tidak suka ataupun benci terhadap seseorang atau sekelompok orang, belajarlah supaya menahan diri. Nabi Bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih).

Sebagai muslim, sikap harus dijaga. Jangan sampai bersikap sombong, suka iri hati dan dengki, suka berprasangka buruk dan suka menebarkan permusuhan. Sebagai muslim, prilaku harus dijaga. Jangan sampai suka berbuat aniaya terhadap diri sendiri dan orang lain, merusak lingkungan dan menimbulkan keresahan [ketidaknyamanan] terhadap orang lain. Nabi saw berpesan: “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya” (H.R. Muslim)

Rasulullah saw sebagaimana dimaklumi, diutus oleh Allah swt untuk memperbaiki [menyempurnakan] akhlak manusia. Sehubungan dengan itu tentunya orang-orang yang mau mengikuti sunnahnya harus berupaya untuk berakhlak baik. Ketika seorang Muslim memiliki akhlak yang kurang terpuji, itu berarti ada sesuatu yang salah dalam cara ia beragama. Berhati-hatilah dengan urusan akhlak ini, keimanan seseorang akan dianggap kurang sempurna, ibadah yang dilakukannya boleh jadi berkurang nilai pahalanya atau terancam tidak diterima, kalau dalam keseharian, ia memiliki sikap dan prilaku yang kurang terpuji. Wallah A’lam[].

Sanad : H. Amrizal, MA

Sifat Buruk Manusia Menurut Persepektif Alqur'an



Ada beberapa istilah yang digunakan al-quran untuk menyebut manusia, yaitu (1) Al-Basyar, kata ini menunjukan makna manusia sebagai makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. (2) Al-Insan, kata ini untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasannya. (3) al-Ins, kata ini menunjukan jenis makhluk yang diberi taklif [kewajiban yang bersifat keagamaan]; (4) al-Nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan sosial. Secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekufurannya.

Dalam kaitannya dengan manusia, Al-Quran menyebutkan beberapa sifat buruk yang dimiliki oleh sebagian besar manusia, antara lain:

(1). Sifat Lemah

Sifat ini digambar Allah swt dalam Q.S. al-rum 54 Allah, “Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa”.

Lemah disini menurut penjelasan para ulama bisa bermakna lemah secara fisik jasmaniah dan bisa juga lemah secara psikis, yaitu lemah (dalam melawan) hawa nafsu buruk. Dalam konteks ini, manusia memiliki karakter yang mudah tergoda, terpancing dan terpengaruh untuk berbuat dosa dan kejahatan. hal ini sebagaimana tersirat dalam firman Allah swt: “Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pengasih.” (Q.S. Al-Infithor 6)

(2). Suka Mengeluh dan Kikir.

Sifat ini digambarkan oleh Allah swt dalam al-quran surat al-ma’arij ayat 19: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” maksud ayat ini adalah manusia memiliki sifat sangat gelisah dan marah bila ditimpa kesusahan dan sangat kikir bila mendapat kebaikan dan kemudahan. Sifat kikir manusia ini diperkuat oleh ayat lainnya: “Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya". dan adalah manusia itu sangat kikir. [Q.S. Al-Isra: 100). Hal ini dikuatkan lagi oleh ayat “Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (Al-Ma’arij 21).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, dipahami bahwa sifat suka mengeluh ini berkaitan dengan kesusahan dan kesulitan yang dialaminya. Tatkala keadaan sulit menimpanya, maka manusia sering mengeluh, nyinyir bahkan ada yang sampai berputus asa. Sementara kikir berkaitan dengan nikmat yang diterimanya. Ketika mendapatkan nikmat yang berlebih, manusia acapkali tidak mau berbagi dengan yang lainnya dan cenderung menahannya.

(3) Suka Berbuat Zalim dan Bodoh

Sifat ini digambarkan oleh Allah swt dalam Q.S. Al-Ahzab: 72: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh” dan “Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Q.S. Ibrahim 34).

Kezaliman dan kebodohan manusia itu tergambar dari prilaku yang suka menganiaya orang, merusak alam (lingkungan) dan menumpahkan darah. Padahal prilaku tersebut akan membawa dampak buruk (mudharat) terhadap kehidupan mereka juga. Disinilah semakin tampak kebdodohannya.

(4) Cenderung Lupa diri [Kufur Nikmat]

Sifat ini tergambar dalam firman Allah swt: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami Hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (kejalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.”(Q.S. Yunus 12) “Dan apabila Kami Berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong); tetapi apabila ditimpa malapetaka maka dia banyak berdoa.”(Q.S. Fussilat: 51).

Kedua ayat ini menjelaskan sifat kurat baik manusia yang acapkali suka lupa diri [lupa daratan]. Tatkala mereka berada dalam kesusahan dan kesulitan, mereka selalu berdoa dan memohon pertolongan Allah swt. Akan tetapi ketika kesusahan dan kesulitan itu sudah diangkat dan mereka diberi nikmat, mereka cenderung lupa diri dan kembali menjadi durhaka. Sampai manusia dicap oleh Allah swt sebagaimana terdapat dalam al-quran:“Sungguh, manusia itu pengingkar (nikmat Tuhan) yang nyata.”(Q.S. Al-Zukhruf: 15) dan “Sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhan-nya”(Q.S. Al-Adiyat: 6)

(5) Sombong

Sifat ini tersirat dalam firman Allah swt: “Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (Q.S. Al-Alaq 6-7). Ketika manusia itu diberikan kelebihan dari sisi materi maupun non materi, mereka cenderung membangga-banggakan diri mereka di hadapan manusia lainnya. Q.S. Al-Takatsur menggambarkan: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur”. Kelebihan dalam hal harta, keturunan, pangkat (kedudukan) dan populeritas telah membuat manusia menyombongkan diri sampai mereka akan menghadapi kematian. Dalam tafsir yang lain, untuk menunjukkan kemegahan dan kehormatan mereka, mereka sampai mendatangi kuburan untuk membuktikannya.

(6) Suka Berbantah-Bantah

Sifat ini tergambar dalam firman Allah swt: “Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah.”(Q.S. Al-Kahfi: 54). Ayat ini menyiratkan bahwa manusia memang cenderung keras kepala dan suka berbantah-bantah. Sebagian besar mereka cenderung merasa benar dan ingin menang sendiri. Tidak mau menerima kebenaran apabila tidak sejalan dengan pendapat dan kepentingan mereka.

(7) Suka Tergesa-gesa [Ceroboh]

Sifat ini tersirat dalam firman Allah swt “Dan manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa.” (Q.S. Al-Isra’: 11). Sesungguhnya manusia mempunyai tabiat selalu tergesa-gesa dalam menghukumi apa yang terjadi pada manusia, dalam segala ucapan dan perbuatan. Manusia biasanya tergesa-gesa dalam menyeru kepada kejahatan sebagaimana halnya dalam menyeru kepada kebaikan. Juga biasanya tergesa-gesa dalam berdoa kepada Allah agar diturunkan bala kepada siapa yang menyulut amarahnya sebagaimana halnya ketika mendoakan seseorang dengan kebaikan. 
Wallah A'lam [].

Sanad : H. Amrizal, MA

Monday, September 9, 2019

Mengenal Tuan Syekh H. Imam Sabar, Salah Seorang Pengembang Islam di Onder Distrik Mandau



Tuan Syekh H. Imam Sabar adalah salah seorang tokoh yang mengembangkan ajaran Islam di onder Distrik mandau melalui jalur tarekat Naqsabandiyah. Syekh Imam Sabar mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah pada tahun 1925 tepatnya di Desa Beringin yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Talang Muandau. Karena Mandau ketika itu berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Siak Sri Indrapura, pada tahun 1931 Ia kemudian mengajukan permohonan izin kepada Sultan Siak untuk mengembangkan ajaran tarekat di wilayah Mandau dan sekitarnya. Setelah meneliti permohonan Syekh Imam Sabar dan menguji ilmu-ilmu yang akan dikembangkannya, Sultan mendapati bahwa ajaran-ajaran tarekatnya sesuai menurut syari’at dan tidak mendatangkan pertentangan kepada kerajaan. Lalu Sulthan memberikan izin kepada Syekh Imam Sabar untuk mengembangkan ajaran-ajarannya. Surat Izin tersebut dikeluarkan oleh Yang Dipertoean Besar Sjarif Qasim Abdoel Jalil Sjarifoeddin Ibnoe Almarhoem Soelthan Hasjim Negeri Siak Nomor: 76 Sanah 1333

Dalam mengembangkan ajaran Islam, Syekh Imam Sabar mendapatkan tantangan dan hambatan cukup berat dari penduduk setempat yang berasal dari suku Minas, Kelompok Bathin Takah, Suku Penaso, kelompok Bathin Gunggang, suku Belutu, kelompok Bathin Babut yang ketika itu masih banyak menganut kepercayaan animisme. Namun tantangan dan hambatan ini tidak membuat Syekh Imam Sabar mundur, dengan cara perlahan-lahan mereka akhirnya menganut agama Islam dan meninggalkan kepercayaan mereka. Setelah masyarakat Desa tersebut banyak yang menganut agama Islam, Syekh Imam Sabar menghadap Sulthan Sjarif Qasim Kerajaan Siak Sri Indrapura untuk menyampaikan bahwa Bathin-Bathin yang lima sudah ditaubatkan dan memeluk agama Islam. Dengan keberhasilannya tersebut Syekh Imam Sabar diberikan penghargaan oleh sulthan, beliau diangkat menjadi Let/Hakim untuk wilayah Kecamatan Mandau. Setiap ada pertemuan sidang beliau diwajibkan untuk hadir.

Sekitar tahun 1936, Syekh Imam Sabar meninggalkan Desa Beringin menuju Desa Balai Pungut untuk melaksanakan perintah dari guru beliau Imam Besar Kota Intan. Pada tahun 1937, beliau mulai membina dan mengembangkan ajaran syari’at dalam wilayah Desa Balai Pungut tepatnya di Dusun Tandun. Kemudian beliau mendirikan sebuah Surau atau Musholla kecil dengan beberapa orang pengikutnya. Namun kemudian sekitar tahun 1942, Jepang memasuki wilayah Kecamatan Mandau dan dengan masuknya Jepang, maka semua kegiatan tersebut bubar, akhirnya kegiatan berpindah di tengah-tengah Desa Balai Pungut tidak lagi di Dusun Tandun. Pada tahun 1947 beliau diangkat menjadi P3NTR Wali hakim untuk Desa Balai Pungut, Desa Tangganau, Desa Sam Sam, Desa Pinggir, Desa Belutu, Desa Kandis.

Pada tahun 1951 Syekh Imam Sabar mulai lagi mengembangkan ajaran Tarekat Naqsabandiyah dengan mengadakan Khalwat atau Suluk di Desa Beringin dan Desa Balai Pungut. Syekh Imam Sabar Alkholidi Naqsabandi berpulang kerahmatullah pada tanggal 7 Mei 1960 dan dimakamkan di Desa Balai Pungut. Pada masa itu beliau telah membina 11 orang muridnya sebagai berikut: Khalifah Usman, Khalifah Zakaria, Khalifah Muhammad Ali, Khalifah M. Yusuf, Khalifah Yunus, Khalifah Muhammad, Khalifah Umar, Khalifah Daud, Khalifah Yahya, Khalifah Ismail (alm) dan Khalifah Muhammad Nur (alm).

Perkembangan tarekat Naqsyabandiyah melalui jalur Syekh Imam Sabar ini selanjutnya diteruskan oleh murid-muridnya, yaitu Syekh Usman, murid sekaligus anaknya, di Balai Pungut melanjutkan pembinaan rumah suluk yang didirikan ayahnya setelah tahun 1960. Kemudian Syekh M.Yusuf di Muara Basung dan sekitarnya dan Tengganau. Selanjutnya Khalifah Yahya di Kuala Penaso dan Khalifah Zakaria di Kandis, Samsam, Minas dan Sekitarnya.

Dibawah kepemimpinan Syekh Usman rumah suluk al-Tahrim melahirkan lebih dari 50 khalifah. Setelah Syekh Usman, Rumah Suluk di Balai Pungut diteruskan oleh Khalifah M. Ali yang melahirkan 13 khalifah, kemudian Khalifah Idris melahirkan 11 Khalifah dan terakhir khalifah Fachri melahirkan 1 khalifah. Diantara Murid Syekh Usman ini yang bernama Khalifah Muzani mendirikan rumah Suluk di Kelurahan Air Jamban.

Syekh M.Yusuf mendirikan rumah Suluk di Muara Basung sekitar tahun 1980 dengan nama Khairul Amal. Dibawah kepemimpinannya, Syekh M.Yusuf membimbing lebih dari seratus jamaah tarekat dan melahirkan sejumlah khalifah, diantaranya Khalifah Syafi’i, Khalifah M.Nur, Khalifah Ali Hanafiah, Khalifah H.M. Syarif dan Khalifah Kasri. Untuk saat ini, Rumah Suluk Khairul Amal berada dibawah kepemimpinan Khalifah Syafi’i cucu Syekh M.Yusuf.

Semoga Allah swt memuliakan kedudukannya dan kita memperoleh manfaat dari ilmu dan cahayanya. Amin[].

*Sumber: Tulisan Syech Usman bin Syech Imam Sabar Al-Kholidi Naqsyabandi tentang Uraian Ringkas Sejarah Berkembangnya Tarekat Naqsabandi dalam Wilayah Kec. Mandau di Desa Balai Pungut yang ditulis pada Tanggal 16 September 1989 dan wawancara dengan sejumlah tokoh*

Sanad : H. Amrizal, MA