Sumber Gambar : facebook.com/amrizal.isa
Oleh : Masdaruddin Don Ahmad
Allah mengasihimu, Guruku.
Setiap kali mendiskusikan Islam dan pernak-perniknya, ingatan terhadap sosok sederhana yang hanya bersepeda motor ini begitu kuat dan membahagiakan. Semoga kami senantiasa bersama, kini dan nanti, dalam kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Almarhum Ustad Mil adalah salah satu dari manusia mulia yang dikirim Tuhan untuk saya. Kami selalu bersama dalam hubungan guru-murid. Pertemuan dengan ulama yang tidak pernah memanjangkan jenggot ini bermula ketika saya mengajar di YPPI Bengkalis. Ketika itu, beliau menjabat kepala sekolah.
Kemudian kami semakin akrab ketika ulama jebolan pesantren di Kelantan Malaysia ini, menjadi dosen saya, di STAIN Bengkalis (ketika itu STIT). Keilmuannya yang mengagumkan membuat saya jatuh cinta kepada mata kuliahnya, Ushul Fiqh dan Mantiq. Dengan tekun beliau membimbing saya memahami kitab Ushul Fiqh Abu Zahra, Hujjatullahul Balighah Syaikh Dahlawi, Kitab Sullamul Munauraq Syekh Abdurrahman al-Akhdari, Tahafut al-Tahafut Ibnu Rusyd, dll.
Setelah tamat, saya masih tetap mengajar dan ahli Islam yang tidak pernah bercelana cingkrang ini, juga masih kepala sekolah. Hampir setiap waktu luang, beliau menyempatkan duduk bersama mendiskusikan persoalan kontemporer tentang Islam, ilmu pengetahuan dan masyarakat. Diskusi itu semakin intensif ketika sang hafiz Al-Quran ini, tidak lagi menjadi anggota DPRD.
Sebenarnya bukan diskusi, melainkan mengajari. Tetapi kearifan dan sikap moderatnya, menempatkan guru dengan murid setara. Maka istilah yang tetap harus diucapkan di hadapan sang ulama yang juga guru saya ini adalah diskusi.
Sang penggila ilmu ini sangat suka makan pecal. “Sebagai wujud kecintaan saya kepada keberagaman,” katanya setiap kali berhadapan dengan pecal.
Beliaulah yang menuntun saya dengan tekun dalam pengembaraan pengetahuan di lautan ilmu yang maha dahsyat. Sungguh, saya tidak mampu untuk menggenggam air pengetahuan yang dihidangkan. Hanya setetes dua tetes saja yang terteguk. Namun kesyukuranku tidak terhingga kepada yang sangat sedikit itu.
Bagiku, beliau adalah samudera pengetahuan dan kebijaksanaan. Di antara yang sangat mengesankan sampai kini dan nanti adalah sikap dan cara beliau sewaktu menanggapi fatwa Syiah sesat.
Sebagai ketua MUI ketika itu, beliau tidak setuju dengan fatwa MUI pusat tentang kesesatan Syiah. Caranya membantah dalam diam, dibawanya beberapa kitab karangan ulama Syiah yang dimiliki ke sekolah. Lalu memanggil saya untuk duduk dan membacanya. Ketika saya mulai membuka-buka kitab tersebut, beliaupun berbicara, “Semua kita berusaha mencari kebenaran hakiki, tetapi kebenaran hakiki itu hanya ada pada Allah. Kita meyakini yang kita imani adalah benar, orang-orang Syiah juga begitu.”
Kemudian beliau melanjutkan: “Contohlah ulama-ulama dulu yang seluruh hidupnya hanya untuk ilmu dan agama, sampai lupa menikah, seperti Imam Nawawi, setiap selesai menulis satu bab dia katakan Allahu A’lam, karena pengetahuan yang dimiliki menyadarkan, bahwa yang bisa menilai yang benar hanyalah yang benar-benar memilki kebenaran itu.”
Kata-kata itu tertanam dan menghunjam di relung hati terdalam. Sebagai bentuk penghormatan kepada guru yang dikagumi dan dicintai, sampai kapanpun akan saya ingat pesan itu dan doa saya: Tuhan bersamanya dan mengasihinya di surga yang tinggi dan penuh kenikmatan.
Putra Melayu kelahiran Sungai Pakning ini sulit ditandingi kecintaannya kepada ilmu, agama, dan masyarakat, pada zamannya, sampai sekarang. Begitu juga keikhlasannya mengabdi kepada agama sangat luar biasa, sehingga mengalahkan keinginan manusiawinya yang lain.
Sependek yang saya ketahui, beliau adalah ulama yang keilmuannya paling mumpuni. Karena referensi bacaannya sangat beragam, maka pandangan keagamaannya sangat luas: tidak pernah menghakimi yang berbeda dengan mengatakan haram, dan yang sejenisnya. Terutama kata bid’ah, zaman itu belum pernah kata itu kami dengar keluar dari ucapan para ulama.
Keluasan pengetahuannya tersohor bukan hanya di Bengkalis, melainkan di Riau. Karena beberapa kali saat saya bersama mengikuti kegiatan di MUI provinsi, pendapat beliaulah yang dinantikan oleh majlis. Dan setelah beliau berpendapat, majlis pun bersepakat untuk menjadikan pendapat beliau sebagai pendapat majlis. Tetapi saya tidak akan mengulas tentang ini.
Saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang oleh sebagian muslim Melayu hari ini mungkin dianggap aneh. Katakanlah fatwa beliau tentang tidak dibenarkan tadarus Al-Quran di bulan Ramadhan dengan pengeras suara luar dengan alasan mengganggu nonmuslim yang sedang beristirahat, yang oleh beberapa kalangan ditanggapi setengah protes. Padahal bagi ahli Al-Quran hal seperti itu sudah semestinya. Karena banyak hal yang oleh beliau telah didiskusikan bersama kami tentang persoalan itu, tetapi tidak dimasukkan ke dalam lembaran fatwa, dan saya tidak akan mengatakannya di sini.
Lebih dari fatwa di atas, sebagai seorang ulama yang multitalenta, sikap, dan pandangan keislamannya yang sangat progresif telah memberi warna yang asik bagi kami ketika itu: majlis guru di YPPI. Misalnya, beliau memakai cincin emas. Pernah sambil berseloroh, salah seorang guru bertanya persoalan hukum tentang lelaki memakai emas. Dengan santai beliau menjawab, jika berpegang kepada pendapat salah satu mazhab dalam Syiah, lelaki memakai emas bukan hanya haram, malahan membatalkan wudu. Tetapi karena beliau tetap memakainya, maka majlis guru laki-laki di YPPI waktu itu dengan senang hati meneladani beliau, seperti Pak Fakhrurrazi, Pak Asmiral, Pak Sidik, dan saya sendiri.
Melihat kami memakai cincin emas tersebut, beliau sambil tersenyum bergumam, “Orang awam sebaiknya taklid saja kepada ulama, tidak perlu menyibukkan diri dengan dalil.”
Begitu juga soal fashion, beliau tidak pernah menampakkan ciri khusus yang baru-baru ini dianggap paling Islam. Dan setahu saya, semua ulama di Bengkalis yang seangkatan dengan beliau juga begitu. Sampai sekarangpun, yang benar-benar ulama masih sama tidak menyibukkan diri dengan fashion yang “katanya” sebagai identitas islam. Fashion yang saya maksudkan adalah jenggot. Ya, setahu saya, sampai sekarang, tidak ada ulama di Bengkalis yang berjenggot.
Tentang jenggot ini pernah menjadi bahan perbualan di ruang majlis guru YPPI waktu itu. Kalau tidak salah bersumber dari Pak Khairuddin Nur. Tetapi saya tidak akan mengatakan di sini, karena suasana keislaman hari ini kurang kondusif untuk mengatakannya.
Satu-satunya -kalau boleh dibilang- membuat beliau pernah berbeda dengan majlis guru yang lain adalah ketika memakai kain sarung. Yaitu ketika beliau bertugas sebagai khatib Jumat, maka pada jam mengajar sore, sarung itulah yang tetap dipakai lengkap dengan syalnya yang berwarna putih atau hijau. Dan ketika memakai sarung, maka kaki beliau memakai sandal.
Kembali ke keluasan referensi keislaman yang dikuasai, mungkin yang paling sering beliau sebut adalah kitab Hujjatullahul Balighah karangan Syaikh Dahlawi dari India. Tentang isi dalam kitab ini, beliau pernah berujar kepada saya, “Menurut Syaikh Dahlawi, orang Yahudi itu dihujat dalam Al-Quran bukan karena mereka Yahudi, melainkan karena sifat-sifat mereka yang banyak merugikan orang lain dan tidak terpuji.” Kemudian dengan senyum beliau melanjutkan ucapannya, “Sekarang ini, sudah terbalik, sifat-sifat orang Yahudi yang dihujat oleh Allah dalam Al-Quran itu ada pada orang Islam, sementara kita masih juga sibuk menghujat Yahudi.”
Ketika usianya sudah lanjut, dan sudah mengharuskan beristirahat, tetapi beliau tetap bersemangat mengembangkan ilmu dengan mendirikan dan mengajar di Pondok Tahfizul Quran yang zaman bupati Herlian Saleh terpaksa ditutup.
Saya teringat ketika sedang duduk bersama beliau dan bapak Adnan, guru YPPI juga, di perpustakaan sekolah. Di antara tumpukan kitab-kitab, beliau perlahan berucap sebatas dapat kami dengar: “Saya ingin meninggalkan jejak yang bermanfaat untuk masyarakat luas di Bengkalis, bagaimana kalau didirikan pesantren Tahfizul Quran?”
Saya dan Pak Adnan ketika itu langsung saja mempersiapkan segala sesuatunya agar cita-citanya menjadi kenyataan. Alhamdulillah, tidak perlu waktu lama, ketua Yayasan, Pak Barmawi, KN. menyetujui lokasi pondok di tanah Yayasan, wakaf dari almarhum H. Mansur di Wonosari Timur. Kemudian, Pemerintah Daerah, bupati Syamsurizal juga mendukung segala pembiayaan: bangunan fisik, dana operasional, dan beasiswa santri yang ikut menghafal Al-Quran. Dan, di pondok Tahfizul Quran inilah beliau mengabdikan diri sampai ajal menjemput.
Sangat disayangkan, pergantian bupati menyebabkan kebijakan juga berganti. Dana operasional dan beasiswa untuk santri yang mengikuti tahfiz tidak lagi dianggarkan Pemda Bengkalis. Akibatnya kegiatan pondok tidak berjalan. Santri yang ada semuanya bubar. Bangunan asrama, ruang kelas dan rumah ustad terbiarkan tidak terawat.
Semoga seiring waktu, Tuhan memberikan jalan keluar untuk menghidupkan kembali pondok Tahfiz peninggalan ulama besar negeri Bengkalis. Dan berarti pula mewarisi, melestarikan dan mengembangkan semangat mencintai keberagaman dan sikap moderat yang menjadi model keagamaan H. Ustad Mil. Semoga.