Kata al-jaisyu (pasukan) digunakan untuk
menyebut tentara. Atau sekumpulan orang dalam peperangan. Ada yang
mengatakan al-jaisyu adalah pasukan yang menempuh perjalanan untuk
berperang atau selainnya (Ibnu Madzur dalam Lisanul Arab,
Madatu Jaisy, 6/277). Dalam perkembangan negara Islam, kemiliteran atau
tentara Islam dimulai dengan tatanan yang sangat sederhana. Kemudian
terus berkembang dengan pesat hingga menjadi tentara modern. Dan
memiliki manajemen yang khusus.
Tentara Sebelum Islam
Orang-orang Arab sebelum Islam tidak memiliki
menjamen khusus ketentaraan. Dalam tradisi mereka pasukan/tentara adalah
setiap orang yang mampu menggunakan pedang dan keluar untuk berperang
jika ada seruan perang. Perang membela keluarga atau kabilah. Senjata
mereka adalah pedang, tombak, dan panah. Pasukan dipimpin oleh orang
yang paling ditokohkan dan dikenal pemberani. Biasanya mereka adalah
kepala kabilah (Abu Zaid Syalbi dalam Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah wa al-Fikr al-Islami, Hal: 150).
Tentara Dalam Pemerintahan Islam
Ketika Islam datang dan jihad telah disyariatkan, maka setiap muslim
adalah tentara. Cinta agama dan syahid di jalan Allah menjadi dorongan
terbesar bagi umat Islam untuk bersegera menyambut seruan jihad (Abu
Zaid Syalbi dalam Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah wa al-Fikr al-Islami, Hal: 150).
Rasulullah ﷺ menjadi pucuk pimpinan tertinggi pasukan Islam. Setelah
beliau ﷺ wafat, kemiliteran Islam mengalami perubahan dan perkembangan.
Medan tempur yang semakin banyak. Dan pasukan-pasukan yang berada di
tempat berbeda-beda adalah penyebabnya. Tentu tugas para khalifah
menjadi semakin berat. Para khalifah menyerahkan kepemimpinan militer
pada mereka yang dikenal berani, tangguh, tegas, dan ahli strategi.
Mereka wajib ditaati.
Biasanya panglima perang menemui pasukannya sebelum perang berkobar.
Mengecek pasukan, kemudian berpidato. Menenangkan hati mereka dan
memotivasi akan kemenangan. Demikian juga yang dilakukan Nabi ﷺ. Ketika
perang usai, panglima mengecek pasukannya. Kemudian kembali melatih
mereka. Dan memperbaiki bekal peperangan yang mereka punya (Abu Zaid
Syalbi dalam Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah wa al-Fikr al-Islami, Hal: 153).
Umar bin al-Khattab termasuk pemimpin yang
sangat perhatian dengan keadaan prajurit. Di zamannya mulai disusun kode
etik militer untuk mengatur urusan prajurit. Mendata nama-nama para
tentara. Membagi tugas-tugas mereka. Dan mengeluarkan gaji untuk mereka.
Ketika negara Islam kian luas, ghanimah melimpah, dunia
menerima Islam, dan Islam kokoh di berbagai daerah, Umar mulai khawatir
pasukannya akan lengah. Dan tidak lagi peka dengan ancaman perang. Umar
khawatir militer malah mengadakan pemberontakan. Kemudian ia berusaha
mengarahkan mereka untuk berjihad. Dan juga meningkatkan kesejahteraan
mereka dan keluarga.
Di zaman Umar pula dibangun markas-markas
militer dengan bangunan permanen. Yang berfungsi menjadi barak tempat
beristirahat saat pasukan dalam perjalanan. Dan juga dibangun
benteng-benteng di Basrah, Kufah, Fustat (Kairo), untuk mengantisipasi
serangan musuh.
Kemudian Bani Umayyah menyempurnakan pembangunan militer yang digagas
Umar bin al-Khattab. Mereka menyempurnakan tata aturan dan kode etik
militer. Dan memperbesar anggaran militer. Ketika wilayah Islam semakin
kokoh dan aktivitas militer menurun, maka Khalifah Abdul Malik bin
Marwan menetapkan kebijakan wajib militer (Abu Zaid Syalbi dalam Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah wa al-Fikr al-Islami, Hal: 150-151).
Peranan Umat Islam Dalam Perkembangan Militer
Umat Islam menjadi salah satu panutan dalam dunia militer. Kaum muslimin adalah inventor
(penemu) banyak teknik dan strategi berperang. Orang-orang Arab di masa
jahiliyah belum mengenal menajemen peperangan. Yang mereka tahu
hanyalah serang atau mundur (hit and run). Umat Islam terbimbing dengan firman Allah ﷻ,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang
berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS:Ash-Shaff | Ayat: 4).
Mulailah kaum muslimin menata barisan pasukan. Terlebih lagi setelah
wilayah Islam semakin luas. Hingga pamor kemiliteran umat Islam setara
dengan militer yang bersejarah, Romawi dan Persia, yang tertata dan
terencana. Umat Islam mengenal pasukan garis depan (front line),
sayap kanan, sayap kiri, dan pasukan inti yang berada di tengah.
Kemudian ditempatkan juga batalyon di bagian belakang (Kamal Adnani
Ismail dalam Dirasat fi Tarikh an-Nazhm al-Islamiyah, Hal: 167).
Contohnya terlihat jelas dalam Perang Yarmuk, Qadisiyah, dan
Ajnadain. Bagaimana mobilisasi pasukan, kepemimpinan yang baik, dan
strategi yang tepat berhasil dipadukan (Abu Zaid Syalbi dalam Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah wa al-Fikr al-Islami, Hal: 159).
Negara Islam membekali tentara dengan senjata yang cukup. Pasukan
terdiri dari kavaleri (penunggang kuda) dan infantri (jalan kaki).
Mereka dibekali dengan berbagai senjata. Senjata ringan untuk individu.
Seperti: pedang, tombang, busur panah, dll. Ada juga senjata berat untuk
setiap regu. Seperti: Manjaniq (senjata yang digunakan untuk melempar
batu penjebol dinding benteng) dan ad-dabbabah yang membantu pasukan
terdepan untuk menerobos ke benteng musuh. Kemudian ada senjata
pelindung tubuh dari serangan musuh. Seperti: helm, perisai, dan baju
besi. Saat itu, juga sudah ada senjata peledak sederhana, dan senjata
ini terus dikembangkan.
Kuda menjadi bagian penting dalam perang. Karena itu, kaum muslimin
menaruh perhatian besar dalam pelatihan kuda. Dan juga membuat pelindung
untuk kuda perang mereka. Kuda-kuda perang dipakaikan pakaian khusus
yang menutup badan mereka. Yang melindungi mereka dari serang musuh
(Kamal Anani Ismail dalam Dirasat fi Tarikh an-Nazhm al-Islamiyah, Hal: 172-177).
Sejak zaman Nabi ﷺ, kaum muslimin telah mengenal alat yang mereka
sebut dengan ad-dababat. Yakni sebuah alat yang digunakan untuk
menerobos dinding benteng dan menghancurkannya. Sekarang kata
ad-dabbabah menjadi padanan untuk kata tank. Dalam al-Bidayah wa an-Nihayah,
Imam Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa ada salah seorang sahabat masuk ke
dalam ad-dabbabah. Kemudian ia menerobos untuk menghancurkan benteng
pertahanan orang-orang Thaif (Ibnu Katsri dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/399).
Pemerintah Daulah Bani Umayyah memiliki
perhatian besar dalam produksi senjata manjanik. Sampai-sampai Hajjaj
bin Yusuf ats-Tsaqafi mampu membuat manjanik yang begitu besar
(al-‘arus). Butuh 150 orang untuk menggunakannya. Beberapa manjanik ini
diberikan Hajjaj kepada sepupuya Panglima Muhammad bin al-Qasim
ats-Tsaqafi. Kemudian ia berhasil menguasai Kota ad-Daibul (Karachi)
pada tahun 89 H dan kota-kota lainnya di India (Syawqi Abu Khalil dalam al-Hadharah al-Arabiyah al-Islamiyah, Hal: 362).
Umat Islam mempunyai pasukan khusus yang
disebut an-Naffathah. Yaitu pasukan yang memiliki kemampuan menembak
dengan panah api sambil menunggang kuda. Pasukan ini mulai tersebar di
masa Daulah Abbasiyah. Dan mereka menjadi pasukan andalan di Perang
Salib. Ibnu Katsir mengisahkan kejadian di tahun 586 H bahwa Khalifah
an-Nashir Lidinillah al-Abbasi (662 H) mengirim sejumlah besar minyak
dan sejenis korek api kepada Shalahuddin al-Ayyubi (Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/409). Kiriman Khalifa an-Nashir ini diyakini sebagai bahan baku senjata api.
Yang istimewa, pasukan Islam adalah yang pertama menggunakan bubuk
mesiu. Umat Islam telah mengenal teknologi ini sebelum orang-orang Barat
mengenalnya. Penemuan ini tidak seperti diklaim oleh para orientalis
bahwa dunia barat sebagai pelopor teknologi ini. Bubuk mesiu pertama
kali digunakan di Mesir. Karena nitrit banyak terdapat di sana.
al-Maqrizi mengisahkan kejadian pada tahun 727 H bahwa bubuk mesiu
digunakan dengan nifthun (sejenis korek api) di pesta pernikah putri dari Sultan Mesir, an-Nashir Muhammad bin Qalawun (al-Maqrizi dalam as-Suluk li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 3/101).
Yang jelas penemuan di bidang militer ini telah
diketahui umat Islam sebelum tahun 700 H. Sebagaimana yang disebutkan
oleh Ibnu Khaldun bahwa Bani Marin di Maroko telah menggunakan ledakan
mesiu dalam perang-perang mereka. Khususnya ketika merebut Kota
Sijilmasa. Disebutkan bahwa sultan mereka, Ya’qub bin Abdul Haq, telah
membuat meriam (Ibnu Khaldun dalam al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wal al-Khabar, 7/188). Peristiwa ini terjadi pada tahun 672 H.
Demikian juga orang-orang Mamalik. Mereka telah
menggunakan meriam dalam peperangan. Bahkan mereka memodifikasi meriam
dengan berbagai tipe. Ada meriam besar, ada pula meriam kecil. Berat
peluru meriam yang digunakan saat itu mulai dari 10 pon hingga lebih
dari 100 pon. al-Qalqasyandi mengatakan, “Aku pernah melihat di
Iskandariyah, di wilayah bagian Achrafieh, Sya’ban bin Husein yang
menggantikan posisi Sultan Shalahuddin bin Aram rahimahullah,
memiliki sebuah pistol yang terbuat dari tembaga dan timah. Yang
memiliki peluru besi. Dan memiliki jarak tembak yang jauh
(al-Qalqasyandi dalam Shubhu al-A’sya, 2/153).
Dari penjelasan al-Qalqasyandi, kita mengetahui ada dua bentuk
meriam. Ada yang memiliki pelontar yang kuat dan peluru yang melesat
cepat. Dan ada pula sejenis pistol. Kedua jenis senjata ini memiliki
lesatan peluru yang cepat dan jarak tempuh yang jauh. al-Qalqasyandi
menyaksikan hal ini pada tahun 775 H. Hal ini menujukkan inovasi dan
kemajuan luar biasa yang dicapai umat Islam dalam produksi senjata.
Tidak seorang pun yang bisa menyanggah fakta sejarah ini. dulu, umat
Islam memiliki militer yang kuat dari sisi jumlah dan teknologi alat
perang. Inilah rekam jejak umat Islam dalam kemiliteran. Perbekalan yang
cukup. Jumlah pasukan yang banyak. Dan senjata-senjata mutakhir menjadi
salah satu kekuatan militer kaum muslimin di masa lalu.
Sumber: [kisahmuslim.com]
Bagikan
SEJARAH PERKEMBANGAN MILITER ISLAM
4/
5
Oleh
BEDENAI INFO