Sunday, November 2, 2014

SUMBANGAN PEMIKIRAN BUYA HAMKA TERHADAP BAHASA MELAYU


SUMBANGAN PEMIKIRAN BUYA HAMKA BAGI KEMAJUAN BANGSA
ABSTRAK
Buya Hamka adalah salah satu tokoh ulama besar yang pernah dimiliki Indonesia. Pengagumnya berasal dari berbagai kalangan, baik NU maupun Muhammadiyah.Meski tidak mengenal secara dekat, Buya Hamka pastilah bukan nama yang asing bagi masyarakat Indonesia. Keilmuan dan ketokohan Buya Hamka tidak hanya bergaung di Indonesia saja tetapi juga tersohor sampai ke luar negeri termasuk Malaysia. Pengaruh dan keilmuan Buya Hamka telah menyentuh segala kalangan. Tidak hanya kelompok religius saja, namun kaum nasionalis. Ketika menjabat sebagai Ketua MUI, salah satu fatwa Buya Hamka yang terkenal adalah soal Natal. Ia mengharamkan umat muslim mengucapkan atau merayakan natal bersama umat Nasrani.Fatwa itu menimbulkan kontroversi. Hamka lalu memilih mundur dari kursi ketua MUI untuk memperhatikan prinsipnya. Persepsi kebanyakan orang terhadap Hamka sering salah. Buya Hamka selalu diidentikkan sebagai seorang penceramah bersuara menyejukkan, apalagi saat memberi kuliah subuh. Padahal, ulama ini memiliki banyak keahlian. Selain itu, buah pemikiran selama hidup Hamka yang penuh warna, masih bisa dinikmati hingga kini.
Selain dikenal sebagai ulama besar, Buya Hamka juga dikenal sebagai salah seorang sastrawan di Indonesia. Roman-roman yang ditulis Hamka seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk sampai sekarang masih dicari dan diperbincangkan orang.  Beberapa tulisannya tersebut bahkan sudah difilmkan dan mendapat respon yang positif dari masyarakat Indonesia dan Malaysia.Seorang ulama yang sekaligus juga seorang penulis roman, merupakan sesuatu yang langka di Indonesia. Jejak Hamka baru diikuti oleh ulama-ulama muda Indonesia abad XXI seperti Habiburrahman Saerozi, yang dikenal lewat karya fenomenalnya Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang menjadi Best Seller tahun 2007-2008, dan Taufiqurrahman al-Azizy, yang dikenal lewat karyanya Syahadat Cinta yang juga menjadi best seller pada tahun 2008.
PENDAHULUAN
Hamka dilahirkan pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Nama sebenarnya ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang disingkat Hamka. Singkatan nama inilah yang kemudian menjadi populer serta menjadi identitas dirinya. Ayahnya, Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, adalah seorang pelopor Gerakan Pembaharu Islam di Minangkabau, sekembalinya dari Mekah pada 1906. Sedangkan ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria. Dari geneologis ini dapat diketahui bahwa Hamka berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Hamka lahir dan menghabiskan waktu kecilnya dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karena itu, Hamka memiliki suku Tanjung sebagaimana suku ibunya.[2]
Dibesarkan dalam tradisi Minangkabau, masa kecil Hamka dipenuhi gejolak batin, karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. “Hal inilah yang ditentang oleh kaum pembaharu di mana Hamka adalah salah satu pendukungnya,” papar Prof. Dr. Gusti Asnan, sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama Nagari Sungai Batang – Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Sejak muda, Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, Hamka juga dikenal sebagai pujangga termashur.
Hamka merupakan sosok intelektual yang sangat produktif menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin ilmu.[3] Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah, surat kabar, maupun dalam bentuk buku. Ia senantiasa concern dalam melihat berbagai persoalan umat dan berupaya melakukan “penyegaran” terhadap kelesuan dinamika intelektual dan pemahaman keagamaan umat Islam. Orientasi kajian produktifnya bukan saja berkisar pada persoalan-persoalan keislaman belaka, akan tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti bidang tafsir, theologi, sastra, fiqh, sejarah Islam, dan pendidikan. Dalam menyajikan karya-karyanya, ia berupaya memformat ide-ide pembaharuannya melalui pemikiran yang modern dan konstektual. Meskipun demikian, uniknya keseluruhan karya-karyanya disajikan melalui pendekatan keislaman. Sebuah pendekatan keilmuan yang jarang dilakukan oleh para ilmuwan pada umumnya.
Melalui pelacakan terhadap karya-karyanya, terlihat betapa luas wawasan pengetahuannya tentang adat Minangkabau dan ajaran Islam yang dianutnya. Oleh karena itu, tidak heran jika pemikiran-pemikirannya sering dianilisis oleh para sastrawan dan peneliti di bidang adat Minangkabau. Melalui berbagai analisis yang pernah dilakukan, para peneliti berbeda pendapat dalam memposisikan intelektualitasnya. Di antaranya ada yang memposisikannya sebagai sosok mufassir melalui Tafsir al-Azharnya,sastrawan melalui roman-romannya, sejarawan melalui karya-karya sejarah Islamnya,transletter (penerjemah) melalui beberapa terjemahannya, atau “sufi” melalui Tasauf Modernnya.
Tulisan ini mencoba mengetengahkan sosok Hamka sebagai ulama yang sekaligus juga cendikiawan Muslim yang karya-karyanya masih dibaca dan dicetak ulang sampai sekarang di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Buya Hamka bisa dikatakan merupakan cendikiawan ulama terbesar di Indonesia pada abad ke-20. Roman-roman yang ditulis Hamka seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk sampai sekarang masih dicari dan diperbincangkan orang. Seorang ulama yang sekaligus juga seorang penulis roman, merupakan sesuatu yang langka di Indonesia. Jejak Hamka baru diikuti oleh ulama-ulama muda Indonesia abad XXI seperti Habiburrahman Saerozi yang dikenal lewat karya fenomenalnya Ayat-Ayat Cinta danKetika Cinta Bertasbih yang menjadi Best Seller tahun 2007-2008. Ulama muda lainnya yang juga menulis novel adalah Taufiqurrahman al-Azizy dengan karyanya Syahadat Cinta yang juga menjadi Best Seller tahun 2008. Novel Ayat-Ayat Cinta bahkan sudah difilmkan dan seperti novelnya, mendapat sambutan yang luar biasa di Indonesia dan Malaysia. Novel Ketika Cinta Bertasbih yang kemudian juga difilmkan, dengan melalui proses audisi untuk mencari para pemain utamanya yang diikuti oleh ribuan peserta dari seluruh Indonesia, juga mencatat sukses besar dan diluncurkan di delapan negara, termasuk Malaysia. Novel Syahadat Cinta juga sudah difilmkan, walaupun gaungnya tidak seperti Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.
PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS HAMKA
Hamka memulai pendidikannya di Sekolah Rendah yang ada di tepian Danau Maninjau, hingga menamatkan Darjah Dua. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Kota Padangpanjang. Di tempat inilah Hamka mulai mempelajari agama dan bahasa Arab. Selain itu, Hamka juga rajin mendengarkan ceramah serta pengajian agama di berbagai surau dan masjid yang diberikan oleh ulama-ulama terkenal.
Namun begitu, Hamka sebenarnya lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penelitian yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, kesusastraan, sejarah, sosiologi, serta politik Islam dan Barat. Dengan kemahiran berbahasa Arab yang tinggi, Hamka juga mempelajari karya ulama dan pujangga besar dari Timur Tengah serta karya ilmuwan dan pemikir dari Eropa.
Kombinasi dari berbagai ilmu yang dipelajari Hamka akhirnya menjadi dasar baginya untuk menganalisis persoalan-persoalan kemasyarakatan di kemudian harinya. Begitu pula peran sosial dan harapan-harapan ayahnya, kampung halaman, dan asimilasi antara adat Minangkabau dan ajaran Islam membentuk pribadi Hamka. Di samping itu, budaya merantau menjadi pelengkap munculnya pikiran komplit Hamka.
Dalam perantauan pertama ke Pulau Jawa tahun 1925, Hamka melihat ada perbedaan missi pembaharuan Islam di Jawa dan di Minangkabau. Jika di Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap salah, seperti tarikat, taqlid, khirafat, dan lain-lain, maka di Jawa lebih berorientasi kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Beberapa pemikiran tokoh pergerakan nasional, seperti H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, Haji Fachruddin, dan A.R. Sutan Mansyur dicernanya dengan baik. Hamka juga sempat mengikuti pendidikan kader organisasi Muhammadiyah dan Syarikat Islam di Yogyakarta dan Pekalongan.[4] Hamka kemudian meluaskan pandangannya pada persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam, seperti kristenisasi dan komunisme.
Karier Hamka berawal sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebingtinggi, Deli, Sumatera Utara dan di Padangpanjang pada 1929. Selain itu, Hamka juga pernah menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta. Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu Hamka sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air. Pada 1950, Hamka mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Kesempatan ini dipergunakannya untuk bertemu dengan tokoh dan pengarang Mesir yang sudah lama dikenalnya. Sepulang dari lawatan itu, Hamka menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka”bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan.
Dalam bidang politik, aktivitas Hamka juga sudah bermula sejak masih muda, tepatnya tahun 1925, saat menjadi anggota Partai Sarekat Islam. Tidak hanya itu, Hamka juga ikut dalam aksi menentang kembalinya Belanda menjajah Indonesia, melalui pidato dan ikut bergerilya masuk hutan di sekitar Kota Medan, Sumatera Utara. Langkah politik Hamka pun semakin jelas ketika dia menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), usai Pemilihan Umum tahun 1955. Namun, perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Setahun kemudian nasib serupa menimpa Masyumi, dibubarkan Soekarno.
Pada masa inilah pemikiran Hamka sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, Ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, Hamka menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya – sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno yang kemudian membekukan Masyumi. “Sejak itulah hubungan antara Hamka dan Sukarno menjadi renggang,” ujar putra Hamka, Rusjdi Hamka. Tidak hanya itu, hubungan keduanya menuju titik paling bawah ketika tahun 1959, Hamka dituduh Sukarno tidak mendukung konfrontasi dengan Malaysia, sehingga Hamka sempat mendekam dalam tahanan.
Meski begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap seterunya itu. Ketika Sukarno wafat, justru Hamka yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap Hamka. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu dishalatkan, namun Hamka tidak peduli,” jelas Rusjdi. Bagi Hamka, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata Hamka, Sukarno adalah seorang muslim.
Setelah itu Hamka kembali kepada dunianya, menulis. Kali ini ia hadir dengan majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul “Demokrasi Kita”. Pada periode ini, tulisan Hamka yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958 ini sudah lebih banyak berupa kajian-kajian keislaman yang mencakup seluruh bidang.
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya diPanji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik “Dari Hati Ke Hati” yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.

Hamka dilantik oleh Menteri Agama Mukti Ali sebagai sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 26 Juni 1975 yang bertepatan dengan tanggal 17 Rajab 1395 H.[5] Pengangkatan Hamka sebagai Ketua Umum MUI ini adalah berdasarkan Musyawarah Ulama Seluruh Indonesia dalam Keputusan Musyawarah Nasional-nya yang kesatu. Pertumbuhan MUI di bawah kepemimpinan Hamka, dalam waktu yang relatif singkat telah menunjukkan banyak manfaatnya, baik bagi pemerintah maupun bagi umat Islam di Indonesia. Buya Hamka cukup sabar di dalam mengemban prinsip-prinsipnya, sehingga MUI betul-betul bersemi di hati umat.
Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan. Protes itu tidak ditanggapi sang menteri, yang membuat Hamka kesal dan meninggalkan pertemuan tanpa pamit.
Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada bulan Mei 1981, Hamka memutuskan mundur sebagai Ketua MUI karena kecewa dengan sikap pemerintah.[6] Lewat MUI, kala itu Hamka berfatwa: “Umat Islam dilarang menghadiri perayaan Natal!” Namun pihak pemerintah agaknya berkeberatan terhadap fatwa itu dan memerintahkan agar MUI mencabut kembali fatwa tersebut. Di sinilah muncul Hamka yang sebenarnya. Akidah harus dipertahankan! Walau langit runtuh, kebenaran harus tetap disampaikan! Dan haram seorang muslim berbuat munafik hanya semata-mata karena sebuah jabatan. Fatwa memang ditarik oleh MUI – dengan embel-embel tanpa tekanan. Dan sambil mengucapkan selamat tinggal, Hamka pun berujar: “Fatwa boleh dicabut, tetapi kebenaran tak bisa diingkari!”.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka juga seorang wartawan, penulis, editor sekaligus penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka sudah menjadi wartawan di beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, dia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Selain itu, Hamka juga dikenal sebagai editor majalah Pedoman Masyarakat dan Panji Masyarakat.
Selama menekuni dunia kepenulisan, Hamka telah menghasilkan puluhan novel serta tulisan ilmiah lainnya. Novelnya yang sangat terkenal serta menjadi kajian penikmat sastra hingga kini tentu saja Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937).
Namun begitu, karya Hamka yang dianggap paling bernilai adalah Sejarah Umat Islamdan Tafsir Al-Azhar, yang ditulis sebanyak lima jilid. “Dia melakukan penelitian yang luar biasa mendalam di berbagai pusat kerajaan Islam di banyak negara, di mana dia menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan penulis di zaman itu,” jelas Gusti Asnan.
Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Pada tanggal 24 Juli 1981 Hamka wafat. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam di Tanah Air. Sejak itu pula, tak terdengar lagi suara dengan tutur kata menyejukkan di pagi hari dari ulama yang sederhana ini.
Pada waktu berita wafatnya sampai ke Malaysia, seluruh kaum muslimin di Malaysia menyelenggarakan Shalat Gaib, karena Hamka sangat dicintai kaum Muslimin Malaysia. Meskipun antara muslimin Malaysia dengan Hamka banyak terdapat perbedaan paham dalam masalah fikih, tetapi hal ini tidak menghalangi kaum muslimin Malaysia untuk mencintai dan mengakui Hamka sebagai guru dan imam mereka.
Meskipun sudah wafat, nama Hamka sebenarnya tak pernah tenggelam. Warisan yang ditinggalkannya melalui berbagai karya tulis, hingga kini tetap menjadi perbincangan. Selain itu, sosok serta pemikiran Hamka telah menjadi referensi abadi dalam berbagai masalah-masalah keagamaan serta kesusastraan. Hamka meninggalkan karya tulis segudang, di antaranya, yang dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik, sejarah, budaya, ahlak, dan ilmu-ilmu keislaman.
HARTA PUSAKA DI MINANGKABAU DALAM PANDANGAN HAMKA
Menurut adat Minangkabau, harta pusaka dibagi dua yaitu “Harta Pusaka Tinggi” dan “Harta Pusaka Rendah”. Di dalam pepatah adat dikatakan bahwa Harta Pusaka Tinggi didapat dengan tembilang-besi,[7] sedangkan Harta Pusaksa Rendah didapat dengan tembilang-emas.[8] Harta Pusaka Rendah apabila sudah diwariskan satu kali, maka dia akan berubah menjadi Harta Pusaka Tinggi.
Di dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka mengatakan begitu kuatnya kedudukan Harta Pusaka Tinggi itu, sehingga menyebabkan pencaharian seorang “Urang Sumando” misalnya rumah yang dibuatnya untuk anak istrinya, tetapi terletak di tanah pusaka istrinya, tidaklah berhak dijualnya kembali, meskipun berasal dari harta pencahariannya sendiri. Dia tercela keras oleh adat kalau berbuat demikian. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya, rumah yang dibuatnya tersebut tinggal menjadi hak milik istrinya. Apabila si istri bersuami baru, suami yang baru itu pun tidak berhak atas rumah itu. Kalau suami istri bercerai, yang dibawa oleh suami keluar hanyalah pakaiannya sehari-hari saja. Sementara itu jika istrinya mati, yang punya harta adalah anak-anaknya, terutama anak perempuan. Faraidh tidak dapat masuk ke sini.Pagang-gadai seorang suami untuk anak istri pun adalah kepunyaan anak istri. Sesuatu yang terpenting adalah bahwa suku ayah berbeda dengan suku anak-anaknya.
Seorang suami atau “urang sumando” dijemput, dimohon kesediaannya untuk menikah dengan seorang perempuan anggota suatu kaum. Belanja suami (urang sumando) itu bahkan diberi oleh pihak keluarga istri. Seorang istri, terutama dari keluarga berada, tidak terlalu mengharapkan biaya belanja dari suaminya karena kebutuhannya sudah terpenuhi oleh keluarganya. Dia bahkan dilarang keras oleh mamak dan ibunya untuk meminta uang belanja kepada suaminya karena hal itu menunjukkan ketidakmampuan mereka. Yang diharapkan oleh istri dan keluarga besarnya dari suami atau urang sumando tersebut hanyalah agar diberi keturunan untuk meneruskan silsilah keluarga besar mereka.
Setelah agama Islam masuk ke Minangkabau, baik sebelum Perang Paderi, sewaktu perang, ataupun sesudah perang, masalah Harta Pusaka di Minangkabau tidak pernah disinggung-singgung. Salah seorang yang mengangkat masalah ini pertama kali ke permukaan adalah ayah Buya Hamka, Syekh Abdul Karim Amrullah yang mencela keras orang yang menurunkan harta pencaharian atau Harta Pusaka Rendah kepada kemenakan, tetapi Harta Pusaka Tinggi tidak beliau ganggu-guagat. Hal ini jelas berbeda dengan fatwa gurunya sendiri, Tuan Syekh Ahmad Khatib yang khusus mengarang sebuah buku menjelaskan bahwa Harta Pusaka Minangkabau adalah harta “Syubhat” yang diragukan kehalalannya. Menurut Ahmad Khatib, seluruh orang Minangkabau memakan harta haram dan beliau konsekwen dengan pendapatnya, sehingga setelah beliau meninggalkan Minangkabau dan menetap di Mekkah sampai wafatnya tahun 1916, beliau tidak pernah pulang lagi ke Minangkabau.
Berbeda dengan Ahmad Khatib, Syekh Abdul Karim Amrullah berfatwa bahwa Harta Pusaka Tinggi adalah sebagai wakaf juga, atau sebagai harta Mussabalah yang pernah dilakukan Umar bin Khathab pada hartanya sendiri di Khaibar, yang boleh diambil isinya tetapi tidak boleh di-tasharruf-kan tanahnya. Beliau mengemukakan Qa’idah Ushul yang terkenal yaitu, “Al ‘Adatu Muhak Kamatun, wal ‘Urfu Qa-Dhin” yang artinya Adat adalah diperkokoh dan Uruf (tradisi) adalah berlaku.
Sehubungan dengan masalah Harta Pusaka di Minangkabau ini, Buya Hamka mengemukakan pikirannya bahwa Harta Pusaka Tinggi yang ada tidak boleh diganggu-gugat, biarkan saja dalam keadaannya semula, dijual tidak dimakan beli, digadai tidak dimakan sando. Akan tetapi harta pencaharian atau Harta Pusaka Rendah hendaklah di-faraidh-kan menurut ketentuan agama. Hamka bahkan menganjurkan untuk mempertahankan Harta Pusaka dengan meninjau kembali syarat yang empat, yang membolehkan Harta Pusaka dijual atau digadaikan.
Rumah Gadang ketirisan bisa dikerjakan dengan jalan gotong-royong seluruh kaum, karena itu tidak perlu menggadai atau menjual. Penyelenggaraan mayik tabujua di ateh rumah tidaklah memerlukan biaya banyak, karena makan-makan dan kenduri di rumah orang kematian, haram hukumnya. Oleh karena itu, jika seorang ninik-mamak meninggal dunia, diletakkan keris di atas jenazahnya dan sebelum jenazah diangkat ke pekuburan, diadakan terlebih dahulu upacara pelimpahan jabatannya kepada Datuk Penungkatnya. Dengan menyerahkan keris itu kepada kemenakannya yang berhak, yang di beberapa nagari disebut “Lembaga”. Setelah itu jenazah tersebut diurus menurut agama dan dikebumikan. Oleh karena sudah keputusan adat, kedudukannya sama juga dengan upacara sambil makan-makan, karena jika gelar tersebut tidak disandangkan kepada Penungkatnya pada hari itu juga, gelar tersebut akan terbenam. Adat “mambangkik batang tarandam” lebih berat daripada pengangkatan Penghulu biasa. Sekurang-kurangnya seekor kerbau jadi korban. Dengan mengharamkan kenduri di rumah orang kematian, kemusnahan harta pusaka dapat dibendung, sehingga hidup yang sama selama ini dapat dipertahankan. Dalam hal “Gadih gadang indak balaki” pun tidak perlu diselenggarakan secara besar-besaran. Agama melarang mengadakan walimah perkawinan yang terlalu dibesar-besarkan karena banyak mengandung unsur lalai dan mubazir.
Kedatangan Islam ke Minangkabau menurut Hamka, tidaklah memperlemah adat, tetapi justru memperkuatnya. Di zaman sekarang pun mulai pula ada usaha-usaha untuk memisahkan adat Minangkabau dengan ajaran islam, supaya Minangkabau bisa menerima ajaran agama lain dan pengaruh Barat sebagai bagian dari adat. Tidak tertutup pula kemungkinan adanya usaha untuk membawa adat Minangkabau kembali ke zaman Jahiliyah, ke zaman Adityawarman atau semasa tentara Singasari datang ke Minangkabau dengan “Ekspedisi Pamalayu”-nya yang terkenal itu sambil membawa patung-patung besar untuk dijadikan sebagai alat pemujaan bagi orang Minangkabau.
BAHASA PERSATUAN INDONESIA DALAM PEMIKIRAN BUYA HAMKA
Di dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup, Buya Hamka bicara tentang Sumpah Pemuda 1928. Sumpah tersebut menurut Hamka, bukanlah dimaksud membuat atau menciptakan suatu bahasa yang baru sebagai bahasa persatuan, tetapi menetapkan suatu bahasa yang sudah terpakai ratusan tahun lamanya sebagai lingua franca di Nusantara.
Kerajaan Melayu yang tertua, yang bernama Kerajaan Sriwijaya, berdiri sejak abad ke-6, bersamaan dengan abad lahirnya Nabi Muhammad SAW. Bahasa Melayu sudah terpakai dalam kerajaan, dan setelah dipelajari prasasti-prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo ternyata memakai Bahasa Melayu.
Perkembangan berjalan terus sampai Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Berdirinya dua negara di Gugusan Kepulauan Nusantara, yaitu Indonesia yang merdeka dari jajahan Belanda tahun 1945 dan Malaysia yang merdeka dari jajahan Inggris tahun 1957, tidaklah dapat memisahkan, apalagi memecah persatuan bahasa, meskipun memakai nama yang berbeda, yaitu Bahasa Indonesia di Indonesia dan Bahasa Melayu di Malaysia.
Penjajahan asing yang bercokol berabad-abad lamanya di Nusantara ini ternyata tidak bisa melemahkan, apalagi akan menghapuskan Bahasa Melayu yang menjadi bahasa persatuan itu. Di dalam persoalan ini, Buya Hamka mengemukakan pemikirannya sebagaimana digariskan dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid II.[9] Ada tiga pokok masalah yang dikemukakannya.
  1. Penggantian huruf (aksara) dari huruf Arab yang dulu dinamakan “huruf Jawi” ke huruf Latin. Langkah ini dimulai di Indonesia, sedangkan Malaysia yang pada mulanya tetap bertahan pada huruf asli (huruf Jawi), akhirnya mengikuti langkah Indonesia. Ada beberapa akibat buruk dari penukaran huruf ini, kata Buya Hamka. Terutama sekali putusan hubungan angkatan yang datang kemudian dengan perbendaharaan nenek moyangnya. Kalau mereka hendak mencari juga, terpaksa dengan perantaraan orang lain karena awak sendiri tidak dapat mengetahui sumber aslinya yang ditulis dengan huruf Melayu itu.
  2. Berkisarnya dari memakai kata-kata Arab untuk memperkaya bahasa nasional ke kata-kata bahasa bekas penjajah. Perkisaran itu di Indonesia sudah lama berjalan, semenjak zaman Belanda. Adapun di Malaysia, pada mulanya masih mendahulukan (mencari) bahasa Arab. Misalnya perkataan iqtishad untuk ekonomi, siasat untuk politik,tahniah untuk ucapan selamat, dan ta’ziah untuk melayat kematian. Akan tetapi semenjak pergantian huruf Jawi ke huruf Latin, perkembangan ini berubah haluan. Perkataan iqtishad diganti oleh ekonomi. Siasat hilang, politik menjadi gantinya. Adapun di Indonesia kian lama kian terasa usaha halus hendak mengganti, baik yang Bahasa Melayu asli atau yang dari Bahasa Arab, dengan bahasa Jawa. Misalnya perkataan turis yang Bahasa Melayunya pelancong, dan bahasa Arabnya tamasya, diusahakan menggantinya dengan Bahasa Jawa pariwisata. Buya Hamka memberikan pandangan yang agak tajam: Usaha hendak mengganti Bahasa Melayu, seumpama pelancongan dengan pariwisata, atau ta’ziah dengan bela sungkawa, nampaknya adalah hendak melepaskan dendam terpendam, mengapa Bahasa Melayu yang dipakai hanya oleh lebih kurang 30 juta orang Melayu di seluruh Nusantara, yang dijadikan bahasa persatuan, lingua franca? Mengapa bukan Bahasa Jawa, padahal orang Jawa tidak kurang dari 60 juta? Sebab itu dalam masa 50 tahun hendaklah diusahakan secara halus agar bahasa Jawa-lah yang mempengaruhi Bahasa Indonesia, bukan lagi Bahasa Melayu.
  3. Menurut Hamka, kita harus awas memperhatikan ekspansi kultur, serta serbuan kebudayaan dari segi bahasa, yang tujuannya terakhir tidak lain ialah hendak memperlemah agama kita. Bertahun-tahun lamanya kedua negara, Indonesia dan Malaysia memperdekat persepahaman pemakaian Bahasa Melayu ini, yang di Indonesia dinamai Bahasa Persatuan, dan di Malaysia dinamakan Bahasa Kebangsaan. Karena terjadi persimpangan sejarah, air gedang batu ber-sibak, kadang-kadang dirasakan sebagai dua bahasa, padahal bukan.
Buya Hamka mengatakan bahwa dirinya bisa diterima oleh rakyat Indonesia dan Malaysia dengan sama baiknya adalah karena persamaan bahasa. Sambutan masyarakat Makasar terhadap dirinya sama baiknya dengan sambutan masyarakat Kota Kinabalu. Mahasiswa mengerumuni Hamka di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) meminta tanda tangan sama halnya dengan kerumunan mahasiswa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Membaca Khotbah Jum’at di Masjid Negara di Kuala Lumpur, tidak ada bedanya dengan membaca Khotbah di Masjid Al-Azhar Jakarta. Berziarah di Slembah Indah Sri Menanti, sama halnya dengan ziarah ke Batusangkar. Semua dihadapi Hamka dengan bahasa yang satu, yaitu Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.
Demikianlah tiga pemikiran penting Buya Hamka mengenai persoalan Bahasa Indonesia yang kian hari semakin menunjukkan perbedaan dengan Bahasa Melayu di Malaysia. Jika pada tahun 1950-an hampir semua orang Malaysia mengerti dengan baik Bahasa Indonesia, saat ini banyak generasi muda Malaysia yang sudah tidak mengerti lagi Bahasa Indonesia, terutama dialek Jakarta yang menghiasi layar kaca dan layar film dewasa ini di Indonesia. Sinetron-sinetron Indonesia yang banyak diputar di televisi Malaysia saat ini sudah disertai dengan teks di bawahnya karena banyaknya kosakata Bahasa Indonesia yang tidak dimengerti oleh orang Malaysia.
Hal yang sama hari ini terjadi pula di Indonesia, generasi baru Indonesia, terutama yang berasal dari Pulau Jawa dan Indonesia Timur, banyak yang tidak mengerti Bahasa Melayu Malaysia. Sewaktu saya kuliah di Universitas Gadjah Mada, ketika ada kunjungan dosen tamu dari Malaysia yang memberikan kuliah, teman-teman yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa dan Indonesia Timur ternyata tidak mengerti dengan yang diucapkan oleh dosen tamu dari Malaysia tersebut, sehingga dosen tamu tersebut kemudian mengganti bahasa pengantarnya dengan Bahasa Inggris. Dalam kelas yang terdiri dari 12 orang itu mungkin hanya saya, yang berasal dari etnis Melayu Minangkabau, satu-satunya mahasiswa yang mengerti dengan baik apa yang diucapkan oleh dosen tamu tersebut, di samping tentunya Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A., dosen UGM yang berasal dari Aceh, yang mendampingi dosen tamu tersebut, yang beberapa kali menjelaskan beberapa istilah Melayu yang diucapkan oleh dosen tamu  tersebut yang tidak dimengerti oleh teman-teman mahasiswa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Buya Hamka beberapa dekade yang lalu terbukti hari ini, Bahasa Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh Bahasa Jawa, karena orang Jawa merupakan penutur Bahasa Indonesia yang terbesar, dan pengaruh dialek Bahasa Gaul Jakarta telah menyebabkan Bahasa Indonesia menjadi semakin berbeda dengan Bahasa Melayu Malaysia yang saat ini justru sangat banyak dipengaruhi oleh Bahasa Inggris, negara yang pernah menjajah Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993.
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya,Jakarta: Grafiti Press, 1983.
Farchad Poeradisastra, “Memang Kebenaran Harus Tetap Disampaikan”, dalam Nasir Tamara et al., HAMKA di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984.
______, Kenang-kenangan Hidup. Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
_______, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
_______, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987.
Nasir Tamara et al., HAMKA di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Nopriyasman, “Membaca Hamka sebagai Wakil Zaman dan Budaya: Kajian Historiografi,”Makalah, disampaikan dalam “Seminar Seabad Hamka” di Padang tanggal 16 Februari 2008.
Samsul Nizar, “Renungan Pemikiran & Falsafah Hidup Hamka,” Makalah, disampaikan dalam “Seminar Seabad Hamka” di Padang tanggal 16 Februari 2008.

[1] Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.
[2] Samsul Nizar, “Renungan Pemikiran & Falsafah Hidup Hamka,” Makalah,disampaikan dalam “Seminar Seabad Hamka” di Padang tanggal 16 Februari 2008, hlm. 1; Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 9; Hamka,Tasauf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. xv;  Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 7.
[3] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 12.
[4] Deliar Noer, “Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya (Jakarta: Grafiti Press, 1983), hlm. 43; Nopriyasman, “Membaca Hamka sebagai Wakil Zaman dan Budaya: Kajian Historiografi,” Makalah, disampaikan dalam “Seminar Seabad Hamka” di Padang tanggal 16 Februari 2008, hlm. 5.
[5] Nasir Tamara et al., HAMKA di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 247.
[6] Farchad Poeradisastra, “Memang Kebenaran Harus Tetap Disampaikan”, dalam Nasir Tamara et al., HAMKA di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 159.
[7] Didapat dengan tembilang-besi maksudnya adalah harta tersebut didapatkan dengan jalan meneruka atau membuka hutan untuk dijadikan daerah pemukiman dan pertanian.
[8] Didapat dengan tembilang-emas maksudnya adalah harta tersebut didapatkan dengan jalan membeli atau memagang harta orang lain dari hasil pencaharian sendiri.
[9] Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Sumber : Witrianto

Bagikan

Jangan lewatkan

SUMBANGAN PEMIKIRAN BUYA HAMKA TERHADAP BAHASA MELAYU
4/ 5
Oleh BEDENAI INFO

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Comments
0 Comments