Perjuangan memerdekakan
Indonesia dari kolonialiasme telah melalui tahapan dan usaha yang
panjang tetapi matang. Selain perjuangan fisik, bangsa Indonesia secara
gigih mampu membangun pondasi kemerdekaan dengan merumuskan dasar dan
ideologi negara melalui persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para
tokoh bangsa dengan wadah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada Maret 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada Agustus 1945.
Sejarah
mencatat, ketika Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II,
Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan
Kumakici Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret
1945 yang berjumlah 69 anggota. KRT Radjiman Wedyodiningrat (seorang
tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua. Walaupun badan ini dibentuk
oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan yang duduk di dalamnya, badan
ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.
BPUPKI
menggelar dua kali sidang. Sidang pertama dibuka pada tanggal 29 Mei-1
Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945. Sidang pertama
menetapkan Dasar Negara Pancasila dan sidang kedua menetapkan rancangan
UUD 1945. Dalam sidang pertama, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1945,
Mohamad Yamin mengucapkan pidato yang berisi tentang asas-asas yang
diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal 31 Mei, Soepomo
juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Akhirnya pada
tanggal 1 Juni 1945, Soekarno secara gagah menyodorkan 5 poin yang
diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama
kali menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Persiapan
yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus
Pancasila KH Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama tidak lantas
membuat mereka optimis dalam menyiapkan kemerdekaan. Hal ini diungkapkan
oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam salah satu kolomnya
berjudul Kemerdekaan: Suatu Refleksi (Aula, 1991: 41).
Dalam
tulisan tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam konteks usaha susah payah
para tokoh bangsa dalam menyiapkan kemerdekaan. Mantan Presiden ke-4 RI
ini mengatakan bahwa pada sidang lanjutan tanggal 1 Juni 1945 para
pemimpin rakyat peserta sidang kebanyakan masih menyangsikan kemampuan
bangsa Indonesia untuk merdeka. Meskipun demikian, dalam kesangsian
sikap itu, justru dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa sebagai energi
positif untuk dapat merumuskan dasar negara. Artinya, kesangsian yang
timbul bukan semata dari semangat perjuangan, tetapi dari pergolakan
politik yang masih berkecamuk saat itu.
Namun
demikian, Gus Dur menegaskan akhirnya para pemimpin rakyat itu melalui
perjuangan jiwa, raga, dan pikiran berhasil memerdekakan Indonesia dua
bulan kemudian (17 Agustus 1945). Dalam konteks ini, Gus Dur ingin
menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajahan,
tetapi juga terbangun persamaan hak (equality)
di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Secara tegas, Gus Dur
mengatakan bahwa musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan
masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan
kekuasaan itu.
Peran strategis KH Wahid Hasyim dalam perumusan Pancasila
Jika
balik lagi memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa
Pancasila dan UUD 1945, apa yang dijelaskan oleh Gus Dur, itulah misi
yang dibawa oleh para pemimpin rakyat agar dasar negara merupakan
pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan
hanya Islam yang merupakan umat mayoritas. Seperti diketahui bahwa Tim 9
(sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta,
A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno
Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan
salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban
Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Sebelum
Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945
Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur
yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan”
tidak diubah esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh
agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh.
Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya
disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh
ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu
adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga
tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa”
merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat
Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan
konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya
tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah,
menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam
konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap
intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.
Pancasila
yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan
tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam
arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara
Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama
dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010: 91). Jika saat ini ada
sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan
tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan
dasar negara ini.
Peran Kiai Wahid Hasyim
bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis
terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945,
tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas
menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang
majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang
merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia.
Menurut
salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri
bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan
keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan
kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di titik inilah
menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib
mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.
Bagikan
SEJARAH DIBALIK LAHIRNYA PANCASILA 1 JUNI 1945
4/
5
Oleh
BEDENAI INFO