Monday, March 5, 2018

MEMAKNAI MELAYU "TO BE MUSLIM, TO BE MALAY"

Sumber Gambar : www.thepatriots.com


Melayu menurut pemahaman saya bisa dimaknai dengan dua pengertian; melayu dalam pengertian suku dan melayu dalam pengertian ummat (bangsa). Melayu dalam pengertian suku berbeda dengan suku-suku lainnya, suku melayu berbeda dari sisi budaya dan adat istiadatnya dengan suku Batak, Jawa, Minang, Bugis, Banjar dan lain-lain. Perbedaaan ini bersifat sunnatullah. Setiap orang terlahir dalam suku-suku yang berbeda-beda satu sama lainnya. Sedangkan Melayu dalam pengertian ummat (bangsa) diikat atas dasar Islam. Setiap orang yang berasal dari suku-suku yang berbeda-beda tersebut kalau dia beragama Islam berarti dia sudah menjadi Melayu. Ada satu ungkapan yang populer di kalangan orang Melayu, “to be Muslim, to be Malay” yang artinya menjadi Muslim berarti menjadi Melayu. Karena itu orang-orang dari suku Batak, Jawa, Minang, Bugis, Banjar dan lain-lain kalau mereka Muslim berarti mereka adalah ummat (bangsa) Melayu. Itu sebabnya ada perhimpunan (organisasi) orang-orang Melayu di dunia yang dinamakan Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI).

Dari sejumlah literatur yang saya baca, orang Melayu tak bisa dipisahkan dari Islam. Islam menjadi identitas orang Melayu. Meskipun fase Melayu terbagi tiga; fase animisme dan dinamisme, fase Hindu-Buddha, dan Fase Islam. Tapi untuk konteks hari ini bila disebut orang Melayu selalu diasosiasikan sebagai Muslim. Sementara orang-orang di luar Islam tidak bisa disebut Melayu. Tapi mereka tetap dianggap sebagai saudara atas nama kemanusiaan dimana hak-hak mereka juga tetap dihormati dan dihargai.

Dalam sejarahnya orang-orang Melayu terkenal sangat terbuka, toleran dan moderat sekali. mereka bisa menerima kehadiran suku dan bangsa lainnya untuk tinggal dan menetap di daerah mereka tanpa ada perasaan curiga sama sekali. Hampir di semua-daerah orang-orang Melayu, ada orang-orang Tionghoa yang hidup berdampingan bersama mereka dengan tenang dan damai. Sebaliknya belum tentu orang-orang Melayu yang tinggal dalam mayoritas Etnis Tionghoa mendapatkan hal-hal yang serupa. Seperti pengalaman di Singapura dimana hak-hak politik dan budaya mereka sangat dibatasi. Demikian pula pengalaman orang-orang Melayu di Selatan Thailand terdahulu dibawah pemerintahan Thailand yang notabene berafiliasi kepada Buddha. Termasuk juga pengalaman Muslim Rohingnya di Myanmar yang masih hangat.

Kontribusi orang-orang Melayu tak perlu diragukan dalam konteks penegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah Indonesia mencatat dimana tidak sedikit kesultanan Melayu Islam di Nusantaa menyerahkan asset dan kekuasaannya secara sukarela kepada pemerintah Indonesia demi tegaknya NKRI.

Di era demokrasi dan otonomi daerah, orang-orang Melayu tidak mempermasalahkan tampilnya orang-orang Non Muslim sebagai pemegang teraju kekuasaan politik baik di legislatif maupun di eksekutif khususnya kepala desa.

Karena itu orang-orang Melayu sebenarnya tak perlu diajarkan masalah toleransi karena mereka sudah sejak dahulu mempraktekkannya. Bahkan orang-orang Melayu tidak mempermasalahkan berdirinya rumah-rumah ibadat non Muslim di daerahnya asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai bukti untuk itu tidak sedikit gereja, kelenteng, Vihara yang berdiri kokoh di perkampungan orang-orang Melayu.

Hanya saja orang-orang Melayu menginginkan umat-umat dari agama/suku lain juga bisa bersikap toleran dan menghormati hak-hak orang-orang Melayu dalam kaitannya dengan budaya dan adat istiadat mereka. Jadi toleransi itu harus berimbang tidak boleh berat sebelah. Ketika toleransi itu tidak berimbang, inilah yang berpotensi menimbulkan masalah. Selanjutnya para teraju kekuasaan di negeri ini harus menempatkan diri sebagai pengayom dan pelindung kepentingan masyarakat. Tidak memanfaatkan isu perkauman untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik dalam rangka mendulang suara dalam pemilu dan mengenyampingkan kepentingan yang lebih utama yaitu bagaimana terbangunnya suasana kerukunan dan kedamaian dalam lintas budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. 
Wallahu 'Alam[].

*Penulis : Amrizal, M.Ag
Ketua MUI Kab.Bengkalis

Bagikan

Jangan lewatkan

MEMAKNAI MELAYU "TO BE MUSLIM, TO BE MALAY"
4/ 5
Oleh BEDENAI INFO

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Comments
0 Comments