Saat saya mengobrol dengan salah satu teman, ketika itu kami sedang membahas tentang perpolitikan Indonesia. Ditengah obrolan tiba-tiba teman saya mengungkapkan sebuah kalimat yang menurut saya kurang tepat. Kalimatnya kira - kira seperti ini “Politik itu kejam, politik itu kotor, politik itu buruk”.
Dari kalimat tersebut, muncul semangat saya untuk menuliskan ini, sebab saya tidak sependapat dengan ungkapan teman saya itu. Ya, menurut saya ia hanya melihat politik dari sisi luarnya saja. Padahal jika ungkapan seperti itu dibenarkan maka tak menutup kemungkinan muncul sebuah anggapan bahwa para Politisi semua buruk. Sebuah ungkapan yang menurut saya terlalu menggebu-gebu, sebab tidak semua politisi itu buruk. Ada pula mereka yang berniat berjuang untuk bangsa melalui jalur politik ini. Nah para politisi ini tergolong sebagai penjaga negara dari orang-orang yang berusaha memecah belah bangsa ini.
Kita perlu belajar dari sebuah kisah antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Dengan tujuan, supaya tidak mudah menjustifikasi, menilai atas pada yang tampak saja. Karena yang kita lihat bisa benar dan bisa juga salah.
Pada suatu hari Nabi Musa mendapat pertanyaan dari seorang kaumnya, “Apakah ada seorang lebih pintar darimu (Nabi Musa)?” lantas Nabi Musa pun menjawab “Tidak ada”.
Jawaban Nabi Musa yang terlalu menggebu-gebu itu membuat Allah menyuruh Malaikat Jibril untuk mengingatkannya. Ditemuilah Nabi Musa oleh Malaikat Jibril, kemudian berkata pada Nabi Musa “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?”
Atas pertanyaan tersebut akhirnya Nabi Musa sadar atas ungkapan yang baru saja diutarakan pada umatnya tadi.
Kemudian Malaikat Jibril berkata kepada Nabi Musa “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di Majma al-Bahrain yang dia lebih alim daripada kamu.”
Dari ungkapan Malaikat Jibril itu, Nabi Musa berkeinginan untuk menemui orang itu. Lantas ia mendapat perintah untuk menemuinya pada tempat dimana orang itu berada.
Berjalanlah Nabi Musa bersama pembantunya pergi menuju tempat tersebut dengan membawa ikan di keranjang. Dan sesampainya di sebuah batu besar,Nabi Musa dan pembantunya tertidur, sedangkan ikan yang mereka bawa telah melompat ke laut. Si pembantu lupa memberi tahu hal itu kepada Nabi Musa. Setelah terbangun, mereka melanjutkan perjalanan.
Sampai di suatu tempat, Nabi Musa meminta pembantunya untuk mengeluarkan ikan dan makanan. “Wahai Musa, saat kita berada di batu besar, aku lupa dan setan membuatku lalai untuk memberitahumu, ikan itu hanyut dengan unik.”
Kemudian mereka kembali dan menelusuri jejak hingga sampai di batu besar tadi. Tiba-tiba terlihat sosok laki-laki. Nabi Musa memberinya salam dan memperkenalkan diri. “Aku mencarimu untuk belajar kepadamu.”
Lantas Nabi Khidir berkata, “Musa, engkau tidak akan mampu bersabar mengikutiku.” Nabi Musa pun berkata, “Insya Allah aku mampu bersabar dan tidak akan membantahmu”. Nabi Khidir kembali berkata,“Jika benar ingin bersamaku, jangan banyak bertanya sampai aku sendiri memberitahumu.”
Kemudian keduanya pun pergi menyusuri pantai. Di sana mereka melihat sebuah kapal lalu ikut di dalamnya. Hingga saat mendekati tempat tujuan, Nabi Khidir membuat lubang di kapal itu. Nabi Musa menegurnya. “Mereka ini mengangkut kita tanpa upah, mengapa engkau melubangi kapal ini dan membahayakan kita semua?” Nabi Khidir menjawab, “Aku telah katakan, engkau tidak mampu sabar bersamaku.”
Nabi Musa menyesali dan Khidir memaafkannya. Lalu keduanya berjalan di tepi laut dan melihat anak kecil sedang bermain, tiba-tiba Nabi Khidir membekuknya hingga akhirnya meninggal dunia. Nabi Musa bertanya lagi, “Mengapa engkau bunuh jiwa tak berdosa?” Nabi Khidir berkata, “Aku telah katakan bahwa engkau tidak mampu bersabar denganku.” Nabi Musa meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan tiba di suatu tempat dalam kondisi lapar. Namun, tak ada yang memberi mereka makan. Sesudah itu, keduanya menyaksikan sebuah rumah yang hampir roboh. Nabi Khidir segera memperbaikinya. Untuk ketiga kalinya Nabi Musa berkata, “Mintalah upah dari mereka atas upayamu.” Nabi Khidir berkata, “Ini adalah saat berpisah antara aku dan engkau karena engkau tak sabar.”
Dari perjanjian kesepakatan antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir, ternyata Nabi Musa tidak bisa menaatinya. Hanya karena Nabi Musa berpandangan pada yang ia lihat menurutnya adalah benar. Sehingga ia lupa akan sebuah syarat yang telah diberikan oleh Nabi Khidir kepadanya.
Setelah usai perjalanannya tadi, Nabi Khidir menjelaskan perihal apa yang telah dilakukannya waktu di perjalanannya tadi.
Pertama, adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Kedua, dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan aku khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
“Dan aku berdoa supaya Tuhan mereka mengganti dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).”
Ketiga, adapun penjelasan tentang Nabi Khidir membangunkan rumah di suatu desa itu karena rumah itu adalah kepunyaan anak yatim yang di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.
“Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri (tapi atas perintah Allah). Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Kisah antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir di atas diceritakan pada QS al-Kahfi ayat 62-82.
Dari kisah di atas pula kita bisa belajar tentang pentingnya taat pada seorang guru, dan tidak mudah untuk beranggapan salah dan benar dengan berdasar hanya pada apa yang telah kita lihat secara cepat dan terburu-buru.
Wallahu a'lam [].
Bagikan
Adakalanya Kita Harus Diam dengan Tetap Mengamati
4/
5
Oleh
BEDENAI INFO