Sepanjang sejarah sosial umat Islam dari dahulu sampai sekarang, politicing (proses politik) bukan politik, merupakan pemicu utama yang menciptakan kegaduhan, konflik bahkan pertikaian di kalangan umat Islam. Politicing itu ada yang didasarkan pada kepentingan ideologis, kelompok, kekeluargaan, kesukuan, partai dan lain-lain. Agenda utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Fenomena ini bisa dibaca sejak masa-masa awal Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Proses pemilihan khalifah Abu Bakr Al-Sidieq tak luput dari kegaduhan kecil di Saqifah Bani Sa’adah tapi dapat diselesaikan dengan baik berkat kearifan para Sahabat. Demikian pula pada masa Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Usman Bin Affan. Puncaknya pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib, tepatnya setelah terjadinya perang Shiffin antara Muawiyah bin Abi Sofyan dan pemerintah yang berkuasa pada saat itu yang berakhir dengan penyelesaian pertikaian melalui proses arbitrase (tahkim).
Pasca arbitrase (tahkim) itu, umat Islam terkotak-kotak dalam beberapa kubu (sekte), yaitu syi’ah kelompok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib, kelompok pendukung Muawiyah bin Abi Sofyan, kelompok Khawarij yang berfaham ekstrimis radikal, dan kelompok murjiah (kelompok netral).
Demikian situasi gaduh dan konflik terus berulang-ulang terjadi pada era dinasti Islam; mulai dari dinasti umayyah, Abbasiyah sampai dinasti Turki Usmaniyah. Tapi yang paling menarik, meskipun situasi politik mengalami pasang surut, perkembangan dakwah dan peradaban Islam mengalami kemajuan yang siqnifikan.
Konflik antar umat Islam akhir-akhir ini yang berujung pada pertumpahan darah mulai dari Tunisia, Mesir, Iraq sampai Syiria juga dipicu oleh politicing yang berebut pengaruh dan kekuasaan yang diboncengi oleh kepentingan pihak ketiga alias pihak asing yang ingin mengambil kendali di Timur Tengah dan sekitarnya dengan kepentingan ekonominya.
Di Indonesia tak ketinggalan, benih-benih kegaduhan dan potensi konflik antar umat Islam itu sudah mulai muncul ke permukaan. Kalau dibaca keadaan itu tak bisa dilepaskan dari konteks besar pilpres Indonesia 2019 dan konteks kecil Pilkada DKI Jakarta 2017. Dibalik semua itu ada kepentingan global dari pihak luar yang saling berebut ingin mengambil kendali atas Indonesia baik secara politik maupun ekonomi.Sepanjang perjalanan sejarah, umat Islam baik elit maupun pengikutnya selalu dimanfaatkan dalam proses politik tersebut baik atas sepengetahuannya atau karena ketidak tahuannya.
Disinilah letak pentingnya umat Islam baik elit maupun pengikutnya untuk cerdas membaca situasi. Jangan mudah terpengaruh oleh bujukan dan rayuan gombal politisi, meskipun mereka membawa simbol-simbol atau embel-embel Islam. ketahuilah politisasi agama dari dahulu sampai sekarang memang selalu laris-manis karena sebagian besar umat Islam mudah tersentuh hati dan perasaannya terhadap hal-hal yang berbau Islamis. Tapi tidak sedikit di kemudian hari umat Islam yang kecewa dan menyesal setelah mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.
Sehubungan dengan itu, para ulama, Kiyai, Habaib dan Ustadz harus kembali ke habitatnya. Mereka jangan lagi sibuk menceburkan diri dalam kancah perpolitikan. Mereka harus kembali melaksanakan perannya untuk membimbing dan mengayomi umat. Umat Islam harus pandai-pandai memilih ulama, Kiyai, Habaib dan Ustadz yang harus mereka ikuti dan tauladani.
Salah satu ciri ulama, Kiyai, Habaib dan Ustadz yang baik itu bisa dilihat dari perkataan, sikap dan prilaku kesehariaannya. Jangan terjebak oleh hal-hal yang berbau simbolik dan assesoris keagamaan yang melekat pada diri seseorang. Karena hal itu belum tentu menggambarkan yang sesungguhnya di baliknya. Masuklah ke kehidupan nyata sehari-hari tokoh agama itu, pelajari latar belakangnya, dan lihatlah akhlaknya baru kemudian diputuskan apakah layak diikuti atau tidak.
Wallahu'alam bisshowab[].
Penulis : H.Amrizal, M.Ag
Bagikan
POLITICING PEMICU KONFLIK UMAT ISLAM
4/
5
Oleh
BEDENAI INFO