Ajaran Islam menyatakan bahwa dalam beramal harus ada dalil yang dijadikan dasar atau landasannya. Karena beramal tanpa dilandasi oleh dalil boleh jadi tertolak. Hal ini sejalan dengan Kaidah ushuliyah yang menegaskan bahwa pada asalnya ibadah itu haram hukumnya dilakukan sampai ada dalil yang membolehkannya. Sebaliknya dalam perkara-perkara di luar ibadah pada asalnya dibolehkan sampai ada dalil yang melarangnya atau membatalkannya.
Dalil itu dalam kajian hukum Islam ada dua jenis, yaitu pertama dalil naqli yang bersumberkan dari al-Quran dan Hadits dan kedua dalil aqli yang merupakan hasil dari proses berpikir atau ijtihad seperti Ijma’, qiyas dan lain-lainnya. Ketentuan mengenai dalil aqli ini berdasarkan hadits dari Mu'adz bin Jabal ra,bahwa Rosulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya :"ya mu'adz bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?".."saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam kitabullah"..Jawab mu'adz. Nabi SAW bertanya lagi:"Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam kitabullah,bagaimana?".Mu'adz menjawab:"saya akan memutuskannya menurut sunah rosul Nya".Lalu nabi SAW bertanya lagi:"Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam keduanya,yakni Kitabullah dan sunah rosul,bagaimana?".
Lalu mu'adz menjawab:"Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad tanpa ragu sedikitpun". Mendengar jawaban itu,nabi Muhammad SAW lalu meletakkan kedua tangannya kedada mu'adz dan berkata:"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan rosulullah,sehingga menyenangkan hati rosul-Nya". (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).
Berdasarkan uraian di atas, keberadaan dalil dalam beramal atau beribadah sangat penting dan dalil itu tidak hanya al-Quran dan Hadits tapi bisa juga Ijtihadnya para Ulama. Karena itu kepentingan untuk mencari dalil dalam perkara-perkara agama menjadi urusannya orang-orang alim bukan orang-orang awam. Karena orang-orang awam memiliki keterbatasan dalam memahami makasud al-Quran dan Hadits serta tidak memiliki kemampuan atau otoritas dalam berijtihad. Sehubungan dengan itu, bagi orang-orang awam yang terpenting bagi mereka hanya sekedar mengetahui bahwa amal yang mereka lakukan ada dalilnya tidak perlu repot-repot harus mencari dan menghafalnya.
Atas dasar pandangan inilah, ulama-ulama terdahulu ketika menjelaskan perkara-perkara amaliyah kepada orang-orang awam dalam Islam merasa tidak perlu terlalu sibuk menjelaskan dalil-dalilnya yang penting mereka mau beramal. Dan sikap orang-orang awam pula tidak perlu terlalu “lancang” bertanya kepada ulama-ulama mereka mengenai dalil karena mereka yakin ketika perkara itu disampaikan oleh ulama-ulama mereka sudah tentu ada dasar hukumnya.
Karena itu wajar bila orang-orang awam ketika ditanya tentang dalil-dalil amaliyah mereka, mereka tidak tahu. Kalau ingin bertanya tentang dalil, maka bertanyalah kepada ulama-ulama mereka. jangan terlalu cepat-cepat mengatakan bahwa amaliyah mereka tidak ada dalil karena itu akan membingungkan mereka apalagi kalau sampai membid’ah-bid’ahkan dan menyalah-nyalahkan mereka. Sikap gegabah dan telalu lancang tersebut juga bisa menyakiti perasaan ulama-ulama mereka. Sudah berapa ribu hadits yang dihafal, sudah berapa banyak kitab yang dibaca dan dikuasai, apakah mereka tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama Mujtahid, kok mereka telalu berani dan lancang menyalah-nyalahkan?! Kalaupun tidak sependapat, maka bersikap arif dan bijaksana yang harus dikedepankan sehingga tidak menciptakan kegaduhan di tengah-tengah masyakat Islam. Wallah A’lam[]
Penulis : H.Amrizal, M.Ag
Bagikan
URGENSI DALIL BAGI ORANG AWAM ?
4/
5
Oleh
BEDENAI INFO